Teungku
Chik Di Tiro, Mujahid Besar; Sanad Keilmuan dan Perjuangannya.
TEUNGKU
CHIK DI TIRO Nama aslinya Teungku Muhammad Saman bin Teungku
Syekh Abdullah bin Teungku Syekh Ubaidillah. Namun setelah menjadi
seorang alim besar dan memimpin perang Aceh, beliau kemudian dikenal dengan
sebutan Teungku Chik Di Tiro. Adapun ibunya bernama Siti Aisyah anak dari
Teungku Syekh Abdussalam Tiro, dan ibu Teungku Chik Di Tiro adalah kakak dari Teungku
Chik Muhammad Amin Dayah Cut, yang merupakan guru dan tokoh yang banyak memberi
pengaruh dalam perjuangan Teungku Chik Di Tiro selanjutnya.
Semenjak kecil, Teungku Muhammad Saman Di Tiro telah dididik oleh orang tuanya secara khusus, diajarkan oleh ibunya Al Qur'an, dan ditanamkan keilmuan agama secara mendalam oleh ayahnya, yang juga seorang ulama dan Teungku Chik.
Setelah memiliki ilmu yang memadai, pada usia
15 tahun Teungku Muhammad Saman atau Teungku Chik Di Tiro muda diantarkan untuk
belajar langsung kepada ulama kenamaan Tiro yaitu Teungku Chik Muhammad Amin
Dayah Cut yang merupakan adik dari Ibunya Teungku Muhammad Saman Di Tiro. Dan
di antara teman sepengajian Teungku Muhammad Saman pada saat belajar kepada
pamannya itu adalah Teungku Muhammad Pantee Kulu yang dikenal dengan Teungku
Chik Pantee Kulu pengarang Hikayat Prang Sabi. Keduanya berada dalam usia yang
hampir sebaya, dimana Teungku Muhammad Saman Di Tiro diperkirakan lahir pada
tahun 1836 dan Teungku Muhammad Pantee Kulu lahir tahun 1838.
Setelah beberapa tahun belajar kepada Teungku Chik Muhammad Amin Dayah Cut, kemudian Teungku Muhammad Saman Di Tiro melanjutkan pendalaman ilmunya ke beberapa dayah lain. Di antara dayah yang pernah beliau singgahi dan belajar kepada pimpinannya yang juga ulama adalah Dayah Teungku Chik Muhammad Arsyad Ie Leubue yang dikenal dengan Teungku Chik Diyan. Selanjutnya Teungku Muhammad Saman belajar kepada Teungku Abdullah pimpinan Dayah Meunasah Blang, dan belajar pula kepada seorang ulama yang bernama Teungku Chik Tanjong Bungong, semuanya masih dalam kawasan Pidie.
Setelah menjadi seorang alim yang mendalam
ilmunya, Teungku Muhammad Saman Di Tiro kemudian melanjutkan belajarnya kepada
seorang ulama di kawasan Aceh Besar yang bernama Teungku Chik di Lam Krak.
Selama lebih kurang dua tahun beliau belajar di Lam Krak, kemudian beliau
pulang dan mengabdikan ilmunya di dayah pamannya Teungku Chik Dayah Cut.
Setelah beberapa tahun mengajar di dayah pamannya, selanjutnya beliau berangkat
ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji.
Di Mekkah tidak terlalu lama beliau menetap,
mengingat suasana Aceh yang kurang kondusif, setelah Belanda mengultimatum
Kerajaan Aceh untuk menyerah, maka terjadilah perang di Aceh selama lima tahun
pertama rentang waktu 1873-1878 yang merugikan kedua belah pihak, bahkan salah
satu Jendral Belanda tewas. Lima tahun Aceh bergolak, kemudian mampu dipadamkan
perlawanan tersebut oleh Belanda. Sehingga pada tahun 1879-1880 Belanda telah
mampu menguasai Aceh Besar dan Kuta Raja secara umum, dan Raja Aceh harus
berpindah ke Keumala Dalam Pidie. Termasuk Sultan Dawud Syah, Tuwanku Hasyim
Banta Muda mangkubumi kerajaan Aceh beserta keluarganya harus tinggal
berpindah-pindah demi menyelamatkan Kerajaan Aceh agar Raja tidak ditangkap.
Secara umum Belanda telah mampu menguasai sentral Kerajaan Aceh; Kuta Raja dan
Aceh Besar ketika itu. Sebenarnya ada beberapa ulama Aceh seperti Teungku Chik
Kuta Karang, Teungku Chik Tanoh Abee, Panglima Polem, ingin terus berjuang,
namun kekuatan mereka telah melemah, ditambah pula politik pecah belah Belanda
yang telah termakan oleh para pemimpin Aceh. Pada saat seperti inilah hadir
Teungku Syekh Muhammad Saman Di Tiro atau Teungku Chik Di Tiro untuk
mengumpulkan sisa para pejuang dan menggelorakan semangat jihad Perang Sabil.
Teungku Chik Di Tiro dengan doa dan arahan Teungku Chik Dayah Cut berusaha merangkul seluruh ulama dan ulee balang dan berhasil. Maka dengan seruan Perang Sabil yang digaungkan oleh Teungku Chik Di Tiro bersatupadulah para ulama dan ulee balang seperti Teungku Chik Tanoh Abee, Teungku Chik Kuta Karang, Teuku Chik Cot Pling, Teungku Chik Pantee Geulima, Teungku Haji Muda Kruengkalee, Teungku Chik Umar Lam U, Teuku Panglima Polem, Teuku Umar Johan Pahlawan, bahkan Raja Aceh Sultan Daud Syah dan Mangkubumi Tuwanku Banta Muda juga mendukung penuh.
Perlahan namun pasti Teungku Chik Di Tiro menyusun kekuatan dari berbagai lapisan masyarakat mulai dari anak muda, orang tua, perempuan, dan semuanya satu semboyan "Hidup Mulia atau Mati Syahid". Bahkan fase ini disebut oleh Belanda "Aceh seperti Api dalam sekam". Pertahanan Teungku Chik Di Tiro semakin solid dengan hadirnya Teungku Chik Pantee Kulu tentu dengan Hikayat Perang Sabil yang membahana dan 'ibeudoh bule' bagi yang mendengarkannya. Jadilah kekuatan Teungku Chik Di Tiro semakin kokoh dengan pula para panglima perang yang rata-rata memiliki ilmu dan keberanian di atas rata-rata seperti Habib Teupin Wan, Teuku Chik Paya Bakong, Pang Jareung dan lain-lain.
Terhitung mulai 1881 meletuslah perang Aceh dibawah komando Mujahid besar Teungku Chik Di Tiro. Selama sepuluh tahun perang berlangsung dengan sangat dahsyatnya. Perang periode 1881-1891 adalah perang yang paling kelam dalam sejarah Perang Belanda. Seluruh rakyat bersatu padu terpanggil untuk melawan Belanda. Akhirnya pasukan Belanda hanya mampu mengurung diri di Benteng-benteng mereka dalam keadaan ketakutan.
Seluruh siasat Belanda tumpul berhadapan dengan
pasukan Teungku Chik Di Tiro. Setelah tidak mampu melawan Teungku Chik Di Tiro
secara langsung dan terbuka, Belanda kemudian mencari siasat busuk. Suatu hari
di tahun 1891, ketika Teungku Chik Di Tiro sedang mengunjungi salah satu
benteng pasukannya, dihidangkan kepada beliau makanan dengan burung puyuh yang
telah dibubuhi racun, yang dilakukan oleh salah satu pengkianat. Tanpa menaruh
curiga, beliau pun makan hidangan tersebut. Mulailah beliau lemah karena efek
racun, dan tiga hari setelahnya Pejuang Besar itu wafat di tahun 1891.
Setelah wafatnya Teungku Chik Di Tiro, perang dilanjutkan oleh anaknya Teungku Muhammad Amin Di Tiro hingga syahid di tahun 1896. Episode selanjutnya dipimpin oleh Teuku Umar Johan Pahlawan hingga syahid pula di tahun 1899.
Setelah wafatnya Teungku Chik Di Tiro, perang dilanjutkan oleh anaknya Teungku Muhammad Amin Di Tiro hingga syahid di tahun 1896. Episode selanjutnya dipimpin oleh Teuku Umar Johan Pahlawan hingga syahid pula di tahun 1899.
Setelah era ini, perang Aceh secara besar-besaran mulai mereda, kecuali beberapa perang dalam lingkup yang lebih kecil seperti penyerangan Tangsie Belanda di Blangpidie oleh Teungku Peukan dan para pengikutnya pada tahun 1926, serta perlawanan Teuku Raja Angkasah dan Cut Ali di Aceh Selatan. Pada masa ini juga beberapa ulama Aceh yang menjadi sasaran penangkapan memilih hijrah ke Yan Kedah seperti Teungku Chik Muhammad Arsyad Diyan dan Teungku Chik Umar Diyan yang kemudian membangun jaringan ulama Aceh yang baru. Di antara murid-murid lulusan Madrasah Irsyadiah Yan adalah Teungku Haji Hasan Kruengkalee, Teungku Muhammad Shaleh Lambuk, Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri, Teungku Abdullah Umar Lam U, Teungku Syekh Saman Siron, Teungku Muhammad Ali Lampisang, Teungku Syech Mahmud Lhoknga atau Syech Mud Blangpidie dan para ulama lainnya.
Baru pada tahun 1903 terjadilah perjanjian damai antara Aceh dan Belanda. Dan pada tahun 1904 salah satu keturunan Bangsawan Aceh berangkat ke Mekkah untuk menimba dan memperdalam ilmunya yaitu Tuwanku Raja Keumala, yang merupakan murid dari Teungku Chik Pantee Geulima yang juga guru dari Teungku Chik Meunasah Kumbang.
Ketika beliau pulang dari Mekkah pada tahun 1908, jihad peperangan kemudian dialihkan kepada jihad keilmuan dan intelektual.
Sehingga para ulama Aceh kemudian kembali membangun lembaga pendidikan yang telah lama terbengkalai semenjak peperangan seperti Dayah Tanoh Abee dan dayah lainnya. serta muncul dayah dayah baru seperti di tahun 1912 Teungku Jakfar Lamjabat membangun dayahnya di Keurela, tahun 1916 Teungku Muhammad Shaleh dengan Dayah Lambhuk dan Teungku Haji Hasan Kruengkalee dengan Dayah Kruengkalee, Dayah Hasbiyah Indrapuri dibangun kembali di tahun 1923, Jami'ah Khairiah di Labuhan Haji dibangun pada tahun 1921, dan Bustanul Huda Blangpidie dibangun pada tahun 1928 dan banyak lembaga dayah dan pendikan lainnya.
Bahkan Tuwanku Raja Keumala juga membangun tempat perkumpulan yang mirip dengan Islamic Centre nya di daerah Peulanggahan Kuta Raja Banda Aceh. Singkatnya perjuangan ulama terus berlanjut dengan cara yang berbeda namun tujuannya sama, yaitu meninggikan agama Allah SWT. Semoga Allah SWT memberkahi perjuangan para pejuang tersebut. Rahimahumullah Rahmatan Wasi'atan.
Sumber: dikutip dari Facebook Nurkhalis Mukhtar El-Sakandary
No comments:
Write komentarTinggalkan Komentar!