Wednesday, July 24, 2019

"Perang Cumbok" Tragedi Berdarah Perang Saudara yang Tak Terhelakkan



Kantor pemerintahan (bestuurskantoor). Uleebalang menjalankan roda pemerintahan kolonial Belanda di Aceh.
FOTO | BARANOM
KETIKA perbedaan menjadi profan, saat itulah pembantaian dimulai. Perang saudara bergetar dengan kemarahan melukiskan kebencian. Tak pelak penghancuran secara keji dan pencurian dengan memanfaatkan kesempatan kerap terjadi. Selama lima dekade terakhir, sebuah sejarah hitam negeri ini dilupakan dan tinggalkan, ini adalah realita kelam Aceh yang para pelaku sendiri menganggap kisah ini terlalu kelam, revolusi sosial. Perang Cumbok.

Latar Belakang Perang Pasifik

Jepang selaku kekuatan baru yang muncul di Asia Timur mampu merebut semenanjung Malaya yang dikuasai Inggris. Sejak diberlakukannya restorasi Meiji di Jepang oleh kaisar Hirohito, negeri Samurai tersebut terus mengadakan ekspansi wilayahnya ke arah barat Asia sehingga berbenturan dengan kekuatan barat yang telah berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil Asia. Jepang yang berhasil mempropaganda masyarakat Asia termasuk Aceh sebagai saudara tua dari Asia dan penyelamat bangsa Asia ini, berhasil mengambil hati tokoh-tokoh masyarakat dan politik Aceh termasuk dari golongan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dan para hulubalang Aceh (Uleebalang). Para perantau Sumatera, khususnya Aceh di Semenanjung Malaya yang sempat menyaksikan keajaiban dan keberanian serdadu Jepang itu segera terpikat oleh kehebatan pasukan samurai tersebut.

Satu diantaranya adalah Sayid Abu Bakar (1915-1985), mantan guru MadrasahPerguruan Islam Seulimum yang sejak 1941 telah pindah menjadi guru agama pada sebuah Madrasah di Yan, Keudah. Ia terus berusaha melakukan kontak dengan penguasa militer Jepang untuk bergabung dengan pasukan mereka yang akan menyerbu Aceh. (Sayid Abu Bakar (Alaydrus adalah keturunan bangsawan Arab yang lahir di Kampung Jawa, Kutaraja pada tahun 1915. Ia adalah kawan dekat Ali Hasjmy sewaktu belajar di Madrasah Sumatera Thawalib, Sumatera Barat.) Sayid Abu Bakar yang berhasil melakukan kontak dengan pemerintah Militer Jepang, melalui Mayor Fujiwara yang mempunyai misi khusus membina kolone kelima F.Kikan (Fujiwara Kikan) di Taiping, ditunjuk oleh Jepang untuk merekrut perantau Aceh lainnya dan juga perantau Sumatera agar mau bergabung dengan kolone yang dipimpinnya. Para perantau yang berhasil direkrut Sayid Abu Bakar tersebut, kemudian mendapat latihan sebagai agen rahasia di bawah bimbingan Masubuchi Sahei (Ia adalah bekas pedagang yang telah menetap di Sumatera dan Semenanjung Malaya +20 tahun, karena itu amat fasih berbahasa Melayu dan malah telah menulis kamus Jepang-Melayu. Pada tanggal 20 September 1941 ia bergabung dengan Kolone kelima F.Kikan itu. Selama kependudukan Jepang di Aceh ia memainkan peran yang cukup penting berkat berbagai posisi yang ia duduki. Berkat hubungan yang baik antara perantau dengan Jepang inilah dan dibantu oleh masyarakat Aceh yang sudah tidak percaya lagi pada pemerintah Hindia Belanda tersebut, akhirnya pasukan Samurai berhasil menyusup ke Aceh dan memukul mundur pasukan Belanda ke daerah pedalaman.

Sejak saat itu, Aceh memasuki babak baru di bawah kependudukan Jepang dan berhasil mengusir pemerintah kolonial Belanda serta membubarkan Zelfbestuurder (Pemerintahan Swapraja) bentukan Hindia Belanda Kemenangan para perantau Aceh yang didominasi oleh para ulama dan sebagian hulubalang ini, dalam menyusupkan serdadu Jepang ke tanah air serta mengusir para penjajah Belanda, tidak mendapat dukungan penuh dari mayoritas Zelfbestuurder(Pemerintahan Swapraja) bentukan Hindia Belanda tersebut. Zelfbestuurder yang dijabat oleh golongan hulubalang ini merasa panik karena dengan kemenangan Jepang itu, posisi mereka sebagai raja-raja kecil di daerah akan ikut terenggut. Apalagi, Jepang yang masuk ke Aceh di dukung penuh oleh para ulama, rival politik para Uleebalang di Aceh.

Sementara itu, penguasa militer Jepang yang memegang otorisasi penuh di Aceh tidak mau ambil pusing dengan perselisihan kedua elit politik tersebut. Mereka malah memanfaatkan keadaan ini untuk mengambil hati kedua golongan guna memenangkan perang Asia Timur Raya.

Artikel Sejarah:







M. Isa Sulaiman menuliskan, dalam penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, Pemerintah Militer memberlakukan kebijaksanaan pemerintahan dengan tidak mempergunakan elit lokal secara tidak langsung. Beberapa kaum bangsawan yang bersimpati kepada F.Kikan seperti T. Nyak Arief, T. M. Ali Panglima Polem, T. Cut Hasan (1900-1946) dan T. Ahmad Jeunieb dipercayakan pada guncyo (kepala wilayah) yang sebelumnya konteler tersebut dipegang oleh Belanda. Dikarenakan jumlah guntyo mencapai 21 buah, maka para hulubalang yang berpengaruh seperti T. M. Hasan Glumpang Payong, T. M. Daud Cumbok, T. Chik Mahmud Meureudu dan T. Chik M. Daudsyah dipromosikan menjadi guntyo di daerahnya. Hanya Sayid Abu Bakar dan Marah Husein, aktivis Muhammadyah di Tapak Tuan yang memperoleh jabatan guntyo dari F. Kikan non-Uleebalang. Mereka masing-masing menjadi guntyo di Bakongan dan Singkil. Sementara Uleebalang yang tidak mendapat kedudukan direstorasi kembali pada kedudukan semula dengan sebutan son tyo. Posisi hulubalang dalam jabatan barunya guntyo dan son tyo tidak lebih sebagai instrumenkekuasaan militer yang oleh T. Idris, mantan gun tyo Bakongan, 1943-1944 dan guntyoBireuen 1945-Maret 1946 diklasifikasikannya sebagai ”guntyo sebagai mandor I dan Sun tyo sebagai mandor II”.

Para Ulee Balang dan Raja-raja kecil di Aceh pada masa Kolonial Belanda
Para Uleebalang yang telah mendapatkan promosi sebagai guntyo dalam pendudukan Jepang tersebut, dikemudian harinya memperolok-olok para ulama yang tergabung dalam F. Kikan. Mereka menertawakan para ulama tersebut karena belum diangkat sebagai pegawai administrasi militer. Padahal para aktivis F. Kikan tersebut sudah sangat berjasa dan bekerja keras untuk Jepang. Bahkan, T.M. Hasan Glumpang Payong, T. Cut Hasan dan T. M. Daud Cumbok sempat memberikan laporan pada pihak kempetai (polisi rahasia)yang bersifat memojokkan pemimpin-pemimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Akibatnya, beberapa pimpinan ulama ini seperti Tgk. M. Daud Beureueh, Tgk. A. Wahab Seulimum, T. M. Amin, Tgk. A. Husin Al Mujahid dan Abu Bakar Adamy sempat diintrogasi oleh kempetai, walaupun mereka dapat melakukan pembelaan diri.

”Dalam situasi penuh kecurigaan, hubungan akrab yang terjalin oleh seseorang atau kelompok dengan Jepang telah ditanggapi dengan penuh kecurigaan oleh lawan mereka. Konon lagi bila keluar sesuatu kebijakan atau tindakan Penguasa Militer yang merugikan kepentingan mereka. Sebab menurut pandangan pihak yang dirugikan lahirnya kebijakan itu tidak terlepas dari lobi lawan mereka,” sebut Isa Sulaiman dalam bukunya, Sejarah Aceh halaman 102. Ketegangan antara dua kelompok bersaing itu semakin terpicu saat Penguasa Militer mencopoti kekuasaan kepolisian dan kehakiman hulubalang melalui pembentukan pengadilan negeri (ku hoin) dan pengadilan agama (kadhi tyo) di tiap wilayah hulubalang pada permulaan tahun 1944.

Isa Sulaiman menyebutkan, kebijaksanaan yang merugikan posisi mereka itu sudah dapat dipastikan mendapat reaksi keras dari golongan Uleebalang. T. Nyak Arief, ketua Aceh Syu Sangi Kai dan T. M. Hasan Glumpang Payong, waktu itu memegang jabatan guntyo Kutaraja / wakil ketua Aceh Syu Sangi Kai melakukan protes keras kepada Pemerintah Militer (Gunseikanbu).

Reaksi dari para Ulee Balang juga terjadi di level bawah. Pengadilan yang sudah dikukuhkan oleh Jepang dengan Ibnu Saadan menjabat sebagai hakim pada Tiho Hoin Sigli (1943-1944), diadukan oleh T. M. Daud Cumbok dan T. M. Hasan Glumpang Payong kepada kempetai Sigli. Ia dituduhkan telah mempunyai hubungan erat dengan konteler Lameulo. Akibatnya, Ibnu Saadan ditahan (1944) dan baru dapat lolos dari hukuman setelah adanya campur tangan dari Tgk. M. Daud Beureueh. Rasa tidak puas terbesar para hulubalang ini, tentunya ditujukan penuh kepada pemerintah militer Jepang karena seluruh kebijaksanaan yang diterapkan sangat merugikan pihak mereka. Sehingga pada tahun 1944, para Ulee Balang yang sakit hati pada pemerintah Nippon itu meleburkan diri dalam gerakan bawah tanah yang diorganisir oleh O. Treffers (mantan assisten residen Aceh Besar). Akhir tahun 1944, banyak Uleebalang yang ditangkap pihak kempetai akibat adanya laporan dari lawan politik mereka. Hulubalang yang ditangkap ini, sepenuhnya terlibat aktif dalam gerakan bawah tanah. Mereka yang mempunyai jabatan dalam struktur administratif pemerintahan militer digantikan karena dianggap sebagai pengkhianat dan kemudian digantikan oleh kerabatnya yang loyal dengan kelompok radikal.

Pergeseran Kekuasaan dan Kekalahan Jepang Atas Sekutu

Kekalahan Jepang atas sekutu dengan di bom atomnya kota Nagasaki dan Hiroshima oleh Amerika Serikat, baru diketahui secara resmi oleh masyarakat Aceh pada tanggal 25 Agustus 1945. Peristiwa kekalahan Jepang ini, tentu saja sangat berpengaruh pada para pemimpin Aceh yang telah terlalu jauh menjalin hubungan dan bekerjasama dengan Jepang. Sebaliknya, hulubalang yang sangat dirugikan akibat kebijakan-kebijakan pemerintahan militer Jepang tersebut, menyambut baik kekalahan negeri matahari terbit itu dengan membentuk Comite van Ontvangst (komite penyambutan) pada Belanda yang akan kembali memerintah Aceh. Suatu hal yang sangat menjatuhkan kredibilitas orang Aceh tentunya, karena terlalu senang dengan kemenangan kekuatan asing yang sebenarnya adalah kaum penjajah.

Faktor Utama Perpecahan Ulama dan Uleebalang

Uleebalang yang dipercaya sebagai zelfbestuurder pada masa kesultanan merupakan ’raja-raja’ kecil yang absolut. Mereka memegang kekuasaan turun temurun atas nama sultan. Namun semakin lama kekuasaan yang dipegang oleh Uleebalang ini, ikatan antaranya menjadi lemah dan kemudian memutuskan serta memisahkan diri dari pemerintahan sultan secara diam-diam. Pemisahan diri ini tentu saja memudahkan para penjajah yang memasuki Aceh untuk mempengaruhi raja-raja kecil tersebut. Uleebalang yang sebelumnya bahu membahu dengan ulama memerangi penjajah Belanda, lambat laun berubah dan memihak serta setia kepada Belanda. Sementara ulama tidak pernah menerima ”kekuasaan Belanda” itu. Karenanya, tidak mengherankan apabila pada bulan Maret 1942 ketika terjadi pemberontakan terhadap Belanda dan ulama yang bergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) mengijinkan serta bekerjasama dengan Jepang untuk memasuki Aceh. Faktor tersebut terus memperuncing hubungan kedua belah pihak. Ulama akhirnya mengambil keputusan untuk memerangi uleebalang dengan maksud menghapus sistem pemerintahan feodal bersama dengan kekuasaan Belanda apabila perang pasifik meletus. (El Ibrahimy, Peranan Tgk. M. Daud Beureueh dalam Pergolakan Aceh).

Daud Beureu'eh bersama ulama Aceh

Kabar tentang adanya Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang sampai ke Aceh pada bulan September dengan perantaraan kawat yang dikirim oleh A.K Gani, Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera di Palembang, mendapat sambutan dingin dari beberapa uleebalang. Mereka malah mencemooh proklamasi tersebut dan bermaksud menggagalkannya. (Abdullah Arif dalam tulisannya Di Sekitar Pengkhianatan Cumbok). Tindakan yang dilakukan para uleebalang tersebut akhirnya memunculkan satu kesepakatan final bagi para ulama untuk memerangi zelfbestuurder tersebut secara terang-terangan. Dimulai pada saat Jepang menyerahkan senjatanya, tanggal 4 Desember 1946 di Sigli. Dalam peristiwa tersebut terjadi pertumpahan darah dalam memperebutkan senjata Jepang itu, antara ulama dan uleebalang. Walaupun pertempuran itu dapat dipadamkan oleh pemerintah daerah Aceh yang sudah dibentuk sejak Indonesia merdeka pada tanggal 6 Desember, akan tetapi persengketaan antara kedua belah pihak terus berlanjut. Peristiwa ini, kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Cumbok.

Kronologis Perang Cumbok

El ibrahimy dalam kesaksiannya menuliskan bahwasanya di Pidie yang menjadi pusat kekuatan dari dua golongan yang berbeda, sering kali terjadi benturan-benturan antar uleebalang dengan ulama. Setelah Jepang kalah pada bulan Agustus 1945, seratus lebih uleebalang yang memerintah Aceh berabad-abad secara absolut monarki tipe kecil di bawah lindungan Belanda ikut terseret dalam kekalahan.

November 1945, suhu politik di daerah ini mulai panas. Faktor utama penyebabnya adalah T. Daud Cumbok yang tak dapat menyesuaikan diri dengan situasi baru akibat timbulnya proklamasi kemerdekaan Indonesia. T. Daud Cumbok cs menghendaki agar Jepang menyerahkan senjatanya kepada mereka dengan pertimbangan karena Jepang adalah sahabat mereka. Selain itu, pada saat Jepang masih berkuasa mereka pernah menjanjikan akan memberikan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Hal inilah yang menginspirasikan T. Daud Cumbok untuk mengambil senjata Jepang sebagai itikad baik mereka dalam membantu perjuangan Indonesia. Sementara T. Nyak Arief selaku Residen Aceh merasa gusar jikalau senjata tersebut akan jatuh ke tangan rakyat karena kondisi keamanan masih belum stabil. Ia mengirimkan utusannya ke Sigli untuk menemui Jepang dan meminta mereka, menyerahkan senjatanya ke pihak Tentara Keamanan Rakyat (TKR) selaku tentara resmi dari pemerintah Indonesia.

Pihak Jepang yang ditemui oleh utusan residen Aceh itu merasa keberatan melakukan penyerahan senjata secara cepat. Mereka atas dasar intruksi Iino, bekas Gubernur Pemerintahan Militer Jepang di Aceh, akan terus memelihara pertentangan antara ulama dan uleebalang. Bahkan harus lebih dipertajam dengan maksud untuk mengalihkan perhatian dan tekanan orang-orang Aceh atas tentara Jepang yang dikonsentrasikan di Banda Aceh, guna diberangkatkan kembali ke Jepang. Atas dasar intruksi Iino im Muramoto membuat kalkulasi bahwa perimbangan kekuatan (balance of power) antara dua golongan yang bersaing itu harus dipelihara. Karenanya, kekuatan uleebalang yang menurut kalkulasi Muramoto pada akhir November agak lemah, secara rahasia ia memerintahkan untuk melakukan penyerahan selusin senjata pada pihak tersebut yang diterima oleh T. Tjut Hasan, Gunco Sigli. Disisi lain, Muramoto berjanji secara terpisah kepada masing-masing pihak nanti pada tanggal 4 Desember senjata-senjata Jepang baru akan diserahkan sepenuhnya. Minggu akhir bulan November, ketegangan di Kabupaten Pidie memuncak. Kira-kira 200 orang yang bersenjata dari pengikut uleebalang Pidie, T. Pakeh Sulaiman, secara diam-diam pada tengah malam memasuki kota Sigli. Semua jalan masuk ke kota tersebut diblokade dan semua tempat yang strategis di duduki. Dari Lam Meulo datang pula massa lainnya yang tergabung dalam Tentara Cap Sauh di bawah pimpinan T. Abdullah Titeu dan Tentara Cap Tumbak di bawah pimpinan T. Sarong Peudada. Menurut sebagian penulis, tulis El Ibrahimy, tujuan uleebalang memasuki kota Sigli tersebut guna mendahului kaum ulama dan PRI menguasai senjata yang akan diserahkan oleh Jepang pada tanggal 4 Desember. Akan tetapi pada kenyataannya, perebutan senjata Jepang tersebut dilakukan untuk kepentingan perjuangan mereka sesuai dengan rencana yang telah disusun.

Dilain pihak, PRI dibawah pimpinan Hasan Ali dan Husin Sab mengerahkan pengikut-pengikutnya bersama dengan ribuan rakyat dari Garot dan Gigieng untuk mengepung kota Sigli. Begitu pula dengan keresidenan Aceh. T. Nyak Arif mengirimkan Sjamaun Gaharu dengan satu pasukan kecil dari TKR untuk mencoba mencari penyelesaian. Turut pula dalam peristiwa itu T. Panglima Polem Mohd. Ali selaku Wakil Residen yang mewakili Pemerintah Daerah Aceh dan T. Djohan Meuraxa selaku Wakil Gubernur Sumatera. Mereka berhasil mendesak pasukan Jepang untuk menyerahkan senjatanya kepada pihak berwajib (dalam hal ini adalah pemerintah Indonesia). Melihat situasi yang tidak menguntungkan, Nippon akhirnya menyerahkan seluruh senjata mereka kepada TKR dengan beberapa perjanjian, antaranya jaminan keselamatan nyawa dan harta benda tentara Jepang, berada sepenuhnya ditangan pemerintah Indonesia. Sebelum perjanjian ini ditandatangani, pihak TKR melalui Sjamaun Gaharu pada pukul 03.00 WIB menjumpai pimpinan-pimpinan PRI/PUSA yang berada ditengah ribuan rakyat diluar kota Sigli. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk membujuk mereka agar mau membubarkan diri karena persoalan senjata Jepang yang menjadi pemicu konflik telah diselesaikan oleh pihak pemerintah yang sah.

Perundingan Ulee Balang dengan Ulama

Dengan kata lain, ketakutan mereka akan jatuhnya senjata Jepang ke tangan para uleebalang tidak akan terjadi lagi. Namun ditengah mediasi yang dilakukan pihak TKR ini, tiba-tiba dari arah uleebalang berkumpul yakni di depan rumah T. Pakeh Sulaiman, uleebalang Pidie terdengar letusan senjata sebanyak tiga kali yang diarahkan ke arah massa demonstran. Keadaan menjadi panas kembali. Banyak rakyat yang berada diluar kota Sigli tertembak. Pihak TKR yang berada di barisan rakyat demonstran dan bersenjata akhirnya membalas tembakan tersebut. Peperangan yang dihindari pun terjadi. Sebanyak 50 orang kurang lebih menjadi korban. Dominannya dari pihak PRI dan PUSA Padang Tiji dan T. Rizal salah satu anggota TKR yang berada di kerumunan demonstran PRI serta ajudan Sjamaun Gaharu. Guna mengantisipasi perlawanan pihak uleebalang dan melakukan perdamaian, Residen Aceh kembali mengirimkan satu detasemen TKR dari Kutaraja. Akan tetapi, tugas tentara TKR ini terbendung oleh sikap rakyat di Seulimum yang melucuti senjata mereka. Residen Aceh tak kehilangan akal. Ia kembali mengirimkan Polisi Istimewa ke Sigli bersama dengan T. Hamid Anwar, Ka.Staf TKR di Kutaraja. Pengerahan polisi rahasia ini berhasil menenangkan suasana. Pihak yang bersangkutan bersedia berembuk dan pada tanggal 6 Desember 1945 dicapailah sebuah keputusan untuk melakukan perdamaian.

Residen Aceh kembali mengirimkan satu detasemen TKR dari Kutaraja. Akan tetapi, tugas tentara TKR ini terbendung oleh sikap rakyat di Seulimum yang melucuti senjata mereka. Residen Aceh tak kehilangan akal. Ia kembali mengirimkan Polisi Istimewa ke Sigli bersama dengan T. Hamid Anwar, Ka.Staf TKR di Kutaraja. Pengerahan polisi rahasia ini berhasil menenangkan suasana. Pihak yang bersangkutan bersedia berembuk dan pada tanggal 6 Desember 1945 dicapailah sebuah keputusan untuk mengadakan gencatan senjata.

Klimaks Pertentangan Uleebalang dan Non Uleebalang

Peristiwa Sigli telah memperluas jurang pertentangan antara kaum ulama dan uleebalang. Ini merupakan testcase bagi masing-masing pihak. Dari peristiwa tersebut pihak ulama atau PUSA mengambil pelajaran yang berharga. Guna menghadapi uleebalang yang lebih lengkap persenjataannya tidak cukup dengan jumlah massa yang banyak dan pekikan Allahu Akbar semata. Mereka harus mempunyai senjata yang lengkap dan pergerakan yang teroganisir dengan baik. Sedangkan pihak uleebalang menilai peristiwa Sigli merupakan ancaman yang serius bagi kedudukan mereka. Karena itu untuk mengatasi hal tersebut mereka tidak boleh merasa berbelas kasih kepada lawan. Dengan kata lain, pihak uleebalang merasa perlu mengambil tindakan tegas dan keras dengan membentuk komando yang kuat dan tidak kenal kompromi dalam menghadapi lawan. Guna memuluskan rencana mereka tersebut, pihak uleebalang mengutus beberapa perwakilannya untuk menemui dan meminta bantuan Belanda di Medan. (Anthony Reid, Op.cit,.hal 200).

Pihak uleebalang juga mengangkat T. Daud Cumbok selaku pucuk pimpinan yang kemudian melakukan machtsvertoon (unjuk kekuatan) secara besar-besaran dengan menembaki rumah-rumah penduduk menggunakan karaben, metraliur dan mortir.Selain itu, mereka juga mulai melakukan penangkapan-penangkapan dan pembunuhan terhadap pimpinan organisasi pemuda. Berada dibawah pimpinan T. Daud Cumbok pergerakan uleebalang semakin ganas. Dalam pemahamannya Cumbok tidak mengenal falsafah diplomasi. Ia hanya mengenal cara diktator dan tirani dengan unjuk kekuatan melalui senjata. Atas dasar inilah, T. Daud Cumbok menolak bertemu dengan Gubernur Sumatera, Mr. T. Mohd. Hasan yang sengaja datang ke Aceh. Ia hanya mengirimkan adiknya, T. Mahmud untuk menyampaikan bahwa kejadian-kejadian dan sengketa yang terjadi di Aceh merupakan kesalahan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang telah mengepung Lam Meulo.

”Pada tanggal 16 Desember 1945, mereka mulai mempergunakan senjata berat. Dengan senjata-senjata ini mereka menembaki kampung-kampung disekitar Lueng Putu dan Meutareum. Disusul pula dengan pembakaran-pembakaran,” jelas Mr. S. M. Amin dalam bukunya, Kenang-kenangan Masa Lampau halaman 135.

Daud Beureu'eh

Peristiwa ini menggerakkan Tgk. M. Daud Beureuh untuk melaporkan tindakan Cumbok ke Forum Komite Nasional Daerah Aceh yang sama sekali tidak ditanggapi. Tidak habis akal, Ia juga mengadukan tindakan Cumbok tersebut kepada T.T Mohd Said, Assisten Residen Sigli. Namun setelah melakukan penyelidikan secara langsung ke Lam Meulo, T.T. Mohd. Said mengatakan penembakan itu merupakan ketidaksengajaan yang disebabkan efek dari sebuah latihan. Keterangan dari Assisten Residen Sigli ini, tentu saja menimbulkan kecurigaan dari rakyat akan keberpihakan dirinya pada kaum uleebalang. Karenanya, T.T. Mohd. Said menjadi target kemarahan rakyat sama dengan T. Tjut Hasan Guncyo Sigli yang telah menyediakan rumahnya menjadi kubu pertahanan barisan uleebalang. Tindakan uleebalang tidak hanya sekedar memborbardir perkampungan penduduk. Mereka kembali melakukan aksi dengan melakukan pembakaran rumah sekolah agama di Titeue dan kantor kehakiman di bebarapa tempat pada tanggal 20 Desember 1945.

Serangan Umum ke Cumbok

Pihak ulama dan rakyat non uleebalang yang terdiri dari PUSA, Pemuda PUSA dan PRI serta yang lainnya mengkonsolidasikan diri untuk membentuk organisasi perlawanan atas aksi-aksi anarkis pihak uleebalang tersebut. Mereka membentuk suatu badan perjuangan rakyat yang dinamakan Pusat Markas Barisan Rakyat yang berkedudukan di Garot di bawah pimpinan Hasan Ali dan dibantu oleh T. A Hasan. Selain itu, mereka juga mendirikan cabang-cabang di Glee Gapui dibawah pimpinan Hasballah Daud dan di Gigieng di bawah pimpinan Mohd. Husin. Dengan terbentuknya badan perjuangan rakyat ini, peperangan antara kedua belah pihak telah berada di puncak klimaksnya. Pihak uleebalang yang sama sekali tidak memperdulikan akan berdirinya badan perjuangan rakyat tersebut, pada tanggal 30 Desember 1945 kembali menyerang Meutareum dan kampung-kampung sekitarnya seperti Ilot, Lagang, Lala dan Pulo Kameng. Tentara Cumbok merajalela, merampok dan merampas berbagai macam harta kepunyaan rakyat serta melakukan pembakaran-pembakaran rumah rakyat.

Tindakan anarkis pihak uleebalang kali ini, kembali dilaporkan Tgk. M. Daud Beuereueh ke Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh sembari membawakan bukti-bukti fisik berupa pecahan mortir dari lokasi Tempat Kejadian Pekara (TKP). Melihat bukti-bukti ini, pihak KNID Aceh mengadakan rapat umum dan menemui jalan buntu hingga waktu siang hari. Melihat rapat yang terkesan berjalan di tempat ini, Sjamaun Gaharu berinisiatif untuk mengalihkan persoalan ini ke Markas Umum Daerah Aceh. Di dalam rapat Markas Umum Daerah Aceh akhirnya didapar sebuah kesimpulan bahwa perusuh-perusuh yang bertindak di luar Pidie yang berpusat di Cumbok merupakan pengkhianat tanah air (musuh negara RI). Sementara di rapat kedua MUD Aceh kembali mengambil kesimpulan bahwa kekacauan di Luhak Pidie dilakukan oleh NICA dan kaki tangannya. Resolusi yang diambil waktu itu adalah berupa ultimatum agar Cumbok menyerah atau digempur sekira pukul 12.00 pada tanggal 10 Januari 1946. Namun, ultimatum tersebut sama sekali tidak digubris pihak Cumbok. Karena pasukan Cumbok begitu keras kepala akhirnya pihak pemerintah mengadakan serangan umum secara besar-besaran di Lam Meulo yang dibantu oleh rakyat.

Sementara itu rakyat yang telah lebih dahulu mengambil tindakan pada tanggal 7 Januari 1946 telah menyerang Lueng Putu dengan melancarkan serangan dari tiga jurusan. Dari selatan, massa rakyat dipimpin oleh Nyak Hasan dibantu oleh Tgk. Ahmad Abdullah, T. H. Husin, T. H Zainal Abidin dan Peutua Ma’ Ali. Dari timur menyusuri rel kereta api serangan dipimpin oleh pasukan-pasukan raja Uma, Muhd Tahir dan Said Umar. Sementara dari Timur menyusuri jalan raya serangan ke Cumbok dilancarkan oleh pasukan-pasukan A. Gani Mutiara/Sjamaun Gaharu dan Nyak Ishak/Daud Hasan. Lueng Putu berhasil dilumpuhkan setelah penyerangan dari segala jurusan dan memakan korban, termasuk T. Laksmana Umar yang terbunuh serta salah satu panglima Hasballah Hajji, dari pasukan PUSA tertembak di kepala tapi masih bisa diselamatkan. Tanggal 10 Januari 1946, pasukan rakyat berhasil memasuki Teupin Raya tanpa perlawanan berarti. Satu hari kemudian, barisan rakyat kembali menyerang Beureuneun dan mampu mematahkan pertahanan uleebalangyang berada di Blang Malu.

Tepat pada tanggal 12 Januari 1946, sesuai dengan ultimatum yang diberikan MUD Aceh, pihak rakyat bersama TKR dan PUSA melakukan serangan umum ke Lam Meulo selaku benteng pertahanan terkuat pihak uleebalang. Pertempuran besar-besaran itu telah banyak memakan korban. Barisan rakyat baru berhasil memasuki Kota Lam Meulo pada tanggal 13 Januari 1946 dan menyaksikan bekas-bekas pertempuran dan perlawanan hebat di dalamnya. Halaman rumah T. M. Daud Cumbok yang menjadi basis pertahanan uleebalang, porak poranda akibat hantaman artileri. Meskipun kota Lam Meulo dapat diduduki, namun Panglima Cumbok dan staf-stafnya berhasil melarikan diri. Ia baru berhasil ditangkap pada tanggal 16 Januari 1946 di atas Gunung Seulawah Jantan oleh barisan rakyat dari Seulimum pimpinan Tgk. Ahmad Abdullah. Sementara T. Muda Dalam, uleebalangBambi dan Unoe yang terlibat dalam pemberontakan tersebut melarikan diri ke rumah Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba untuk memohon perlindungan. Akan tetapi oleh Tgk H. Abdullah Ujong Rimba ia diserahkan kepada rakyat. Atas keberhasilan penangkapan pimpinan-pimpinan Cumbok tersebut, runtuhlah kekuasaan uleebalangyang memerintah Aceh selama berabad-abad dibawah lindungan Belanda.

Korban Perang Cumbok


Setelah uleebalang diseluruh Aceh ditumbangkan, landschap-landschap yang tadinya diperintah oleh uleebalang atas dasar sistem absolut monarki tipe kecil dibawah lindungan Belanda, dirombak menjadi kecamatan-kecamatan yang diperintah oleh camat atas dasar sistem demokrasi yang bersumber kepada UUD 1945. Nama-nama landschap dan kota-kotanya juga ditukar. Landschap Cumbok misalnya, berubah menjadi Kecamatan Sakti dan Kota Lam Meulo yang merupakan markas besar daerah Perang Cumbok berubah menjadi Kota Bakti.

Suara itu bergetar. “Saya tidak mau membicarakannya,” kata Profesor Teuku Ibrahim Alfian, ahli sejarah dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ayah dan ibu Ibrahim memang selamat dari Perang Cumbok, Aceh, 1946. Tapi nenek, kakek, paman, juga banyak sepupunya jadi korban massa yang marah pada keluarga uleebalang,bangsawan. “Saya tak tahu di mana kubur mereka sampai kini,” kata Ibrahim.

Dan bukan hanya Ibrahim Alfian yang berduka. “Kita semua menangis mengenang kejadian berdarah itu,” kata Farhan Hamid. Farhan adalah anak ketiga dari Teungku Abdul Hamid-akrab dipanggil Ayah Hamid-ulama, juga sahabat Teungku Daud Beureueh.

Perang yang terjadi pada tahun 1946 hingga 1947 dan berpusat di Pidie ini, timbul karena adanya kesalahan peran dan tafsir dari kaum ulama dan Uleebalang (kaum bangsawan) terhadap proklamasi Indonesia, 17 Agustus 1945. Seperti disebut James T. Siegel, antropolog dari University of California, dalam bukunya The Rope of God(1962), Perang Cumbok tak bisa lepas dari konteks tatanan sosial pada saat itu. Tatanan yang sengaja dibangun demi kepentingan Belanda.

Awalnya, 1867, Sultan Aceh diminta tunduk pada kedaulatan Hindia Belanda, yang berpusat di Batavia. Sejak itulah muncul gelombang perang panjang lagi mahal yang melahirkan pahlawan nasional sekelas Cut Nyak Dien, Teuku Umar, dan Teungku Cik Di Tiro (1867-1942). Bagi kaum ulama, proklamasi ini berarti telah berakhirnya kezaliman yang sudah lama dialami bangsa Indonesia, khususnya Aceh dari penjajahan Belanda dan Jepang. Sementara, sebagian pihak lain dari kaum bangsawan melihat larinya Jepang harus diganti dengan Belanda sebagai upaya untuk memulihkan kekuasaan tradisional mereka yang sebagian besar telah dimarginalkanJepang dan besar ketika Belanda berkuasa. Demi memenangi perang, Belanda menugasi Snouck Hurgronje, ahli ilmu Islam, guna mempelajari karakter masyarakat Aceh. Dalam The Atjehnese (1906), Snouck menganjurkan Belanda memanfaatkan uleebalang. Setiap uleebalang punya wewenang penuh mengendalikan nanggroe (negeri). Ada 103 nanggroe di Aceh. Kekuasaan sebesar itu mendorong bangsawan seperti Teuku Haji Cik Mohamad Johan Alam Syah, dari Peusangan, memakmurkan rakyatnya. Ia mengadopsi teknologi irigasi dan pendidikan, dan akomodatif terhadap ulama. Sebaliknya Teuku Keumangan Oemar. Ia jadi gila kuasa: menguasai lebih dari separuh areal persawahan di nanggroe. Kala terbit sengketa di masyarakat, uleebalang seperti Oemar berpihak pada Belanda. “Mereka punya hakim, pengadilan, polisi, juga penjara sendiri,” kenang M. Nur El Ibrahimy, menantu Daud Beureueh.
Snouck Hurgronje


Jepang masuk pada 1942, polarisasi lama mulai menampakkan wujud yang pukul rata: para uleebalang di satu pihak, rakyat bersama ulama di pihak lain. Lalu, 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan menajamkan polarisasi itu. Sang kabar tak cepat sampai, tapi segenap ulama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)-dipimpin Teungku Daud Beureueh-lalu menyambutnya gegap-gempita, langsung menyatakan sumpah setianya. Namun, kubu uleebalang tak sejelas itu. Ada Teuku Nyak Arief, Teuku Hamid Azwar, dan Teuku Ahmad Jeunib yang mendukung Republik. Tapi ada Teuku Daud Cumbok yang lebih merindukan kembali datangnya Belanda. Wajarkah hal ini? Tak demikian bagi Profesor Anthony Reid, penulis buku The Blood of the People Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra.

“Dia sangat berani, kalau tidak boleh dibilang nekat dan sembrono,” kata Reid, yang kini Direktur Asia Research Institute (ARI), Singapura. Di tengah-tengah suasana gandrung kemerdekaan, Daud Cumbok malah gembar-gembor Indonesia belum siap merdeka. Ada banyak cerita tentang dia. Pasar malam di Lam Meulo, markas Daud Cumbok, punya judi dan mabuk sebagai menu utama-simbol pelecehan ulama. Ia memerintahkan penurunan bendera Merah-Putih, penggerebekan rumah para pemimpin PUSA. “Daud Beureueh kami ungsikan ke rumah penduduk di Desa Garot, Metareum,” kata Nur Ibrahimy. Akhirnya, Desember 1945, pemerintah pusat memaklumkan Teuku Daud Cumbok pengkhianat Republik dan harus dihukum. Sang uleebalang menampik.

Proklamasi hanya menjadi momentum puncak untuk terjadinya konflik antara ulama dan Uleebalang di sekitar Pidie. Akhirnya, Uleebalang dipimpin Teuku Keumangan dengan Panglimanya T. Daud Cumbok dan perlawanan rakyat dipimpin Daud Beureueh dengan panglimanya Husin Al-Mujahid. Dalam perlawanan, pasukan Cumbok bahkan telah menguasai kota Sigli, Pidie. Namun penguasaan itu tidak berlangsung lama karena adanya mobilitas perlawanan rakyat yang dilakukan ulama mengakibatkan pasukan Cumbok terpaksa kembali ke markas di Lamlo atau kota Bakti.

Pada 10 Januari 1946, ribuan rakyat, ulama, dan tentara Angkatan Perang Indonesia (API)-sebagian komandannya kaum ningrat-menyerang markas Cumbok di Lam Meulo. Tiga hari pertempuran sengit berlangsung. Senapan, meriam saling berbalas. Hari ke-empat, mereka kabur ke hutan. Pertempuran resmi berakhir 17 Januari 1946. Nama Lam Meulo diganti menjadi “Kota Bakti” guna menghormati ratusan orang yang gugur di sana.

Tapi, kemarahan massa tak lekas reda, revolusi sosial meletup. Rumah indah milik Teuku Oemar Keumangan beserta seluruh isinya-senilai Rp 12 juta (masa itu) saat itu-dibakar habis. Tapi Teuku Ahmad Jeunib, yang jelas-jelas menyatakan setia pada Republik-tidak luput dari pembantaian. Para korban termasuk orang tua dan anak-anak uleebalang yang tak berdosa. Farkhan Hamid ingat satu peristiwa yang dituturkan oleh ayahnya. Serombongan orang meminta ayahnya datang ke sebuah lapangan. Di sana, puluhan orang bersiap-siap menghabisi belasan bocah, anak-anak para uleebalang. Ayah Hamid terperanjat, berteriak: “Tunjukkan padaku hukum Allah yang membenarkan tindakan ini.” Massa terdiam. Anak-anak itu lantas dilindungi di pesantren milik keluarganya.

Salah satu keturunan uleebalang yang selamat, dia tidak mau disebut identitasnya, menolak berkomentar. “Saya ini sudah uzur, lebih baik tak usah ngomongin hal itu,” katanya. Terlalu pahit.

Pramoedya Ananta Toer begitu kagum pada semangat juang orang Aceh. Bagi Pram, apa yang ditunjukkan oleh orang Aceh dalam perang melawan Belanda adalah wujud dari jiwa revolusioner. Berbeda dengan Pram, yang revolusionernya diinspirasi oleh Marxisme, orang Aceh mendasarkannya pada agama Islam.

Pandangan Pram adalah sama dengan bapak bangsa kita dahulu. Bahwasanya ideologi sesungguhnya bukan persoalan yang mendasar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Terpenting ideologi itu adalah cara atau alat untuk mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Perbedaan yang sering terjadi justru dalam hal metode perjuangan itu sendiri. Apakah harus dengan kekerasan atau tidak. Jika tidak menggunakan kekerasan pertanyaaan selanjutnya adalah: apakah harus bekerja sama dengan Belanda (kooporatif) atau tidak. Istilah “revolusioner” yang dimaksud oleh Pram tentu kekerasan bersenjata. Untuk cara yang satu ini, Aceh telah melahirkan pejuang-pejuang pemberani di Medan Perang. Teuku Umar dan Istrinya, Cut Nyak Dien; ulama karismatik, Teungku Cik Di Tiro; pejuang wanita Cut Meutia; serta seorang bangsawan bernama Panglima Polim. Gambar wajah mereka menghiasi dinding-dinding kelas di sekolah-sekolah. Dan nama-nama mereka dipakai sebagai nama jalan di seantero Indonesia.

Meski melahirkan pahlawan medan perang, Tanah Rencong juga melahirkan pejuang-pejuang di arena politik. Salah satunya adalah Teuku Nyak Arif. Nama ini memang tidak sepopuler Teuku Umar dan Cik Di Tiro. Tapi jasanya bagi negara Indonesia tidak kurang dibandingkan nama-nama itu.

Teuku Nyak Arif dilahirkan di Kutaraja pada tahun 1899, tahun di mana pistol Belanda menembus dada Teuku Umar di Meulaboh. Ia menempuh pendidikan Pamong Praja di Bukittinggi dan Serang. Gelar “Teuku” di depan namanya menandakan Nyak Arif termasuk golongan bangsawan atau di Aceh dikenal dengan istilah “uleebalang”. Ia adalah anak dari Panglima Sagi XXVI Mukim. Perlu diketahui, bahwa pada masa Kesultanan Aceh, kekuasaanya secara de facto hanya meliputi wilayah Aceh Besar (sekarang meliputi Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar). Daerah administrasi terkecil di Aceh disebut gampong (kampung atau desa). Kumpulan dari beberapa gampong membentuk mukim. Kumpulan beberapa mukim ini berada di bawah sagi atau sago. Tiap sagi membawahi jumlah mukim yang berbeda. Pada zaman Kesultanan dan Belanda terdapat tiga sagi di Aceh Besar: Sagi XXII Mukim, XXV Mukimdan XVI Mukim. Angka Romawi menunjukkan jumlah mukim yang ada di tiap sagi.

Ketika Kesultanan Aceh takluk pada 1903 maka berakhirlah Kesultanan yang pada masa jayanya pernah menguasai separuh Sumatra dan Semenanjung Malaya ini. Belanda lantas bekerjasama dengan kaum bangsawan, seperti lazimnya di wilayah Nusantara lain. Seperti juga Kesultanan Aceh, Belanda juga berkuasa secara de factodi Aceh Besar. Karena itu tiga Panglima Sagi di Aceh Besar otomatis berada di bawah administrasi Belanda. Pada mulaya Belanda tidak berkuasa begitu saja karena timbul perlawanan. Salah satu Panglima Sagi itu adalah yang kita kenal dengan nama Panglima Polim. Tidak semua sagi ikut angkat senjata. Bahkan kemudian Panglima Polim juga menyerah. Sudah barang tentu para panglima sagi yang terpaksa bekerja sama itu mendapat keistimewaan ala Belanda. Anak-anak mereka diperbolehkan bersekolah untuk nantinya diangkat menjadi ambtenaar pemerintahan kolonial. Salah satu yang turut disekolahkan itu adalah Nyak Arif.

Belanda tentu berpikir, bahwasanya Nyak Arif yang mengecap pendidikan Belanda termasuk golongan moderat. Maka ketika Volksraad (Dewan Rakyat) dibentuk, Nyak Arif diangkat menjadi anggotanya untuk mewakili rakyat Aceh pada tahun 1927. Tapi nyatanya tingkah polah Nyak Arif tidak seperti yang disangkakan Belanda. Nyak Arif bersama dengan Suroso dan MH Thamrin dianggap vokalis Volksraad. Salah satu tuntutannya adalah meminta agar prajurit KNIL yang beragama Islam juga memiliki pembina kerohaniaan, sebagaimana prajurit yang beragama Kristen. Sikap vokalnya itu membuat dia ditendang tidak dipilih kembali menjadi anggota Volksraad. Nyak Arif pun kembali ke kampung halamannya sebagai Panglima Sagi XXVI Mukim. Kiprahnya sebagai seorang nasionalis pada zaman Belanda membuat Nyak Arif diangkat menjadi Residen Aceh pada Oktober 1945. Nyak Arif yang menjalankan roda pemerintahan yang berpusat di Kutaraja (sekarang: Banda Aceh). Pada masa itu, peran ulama di Aceh sangat besar. Salah satu ulama berpengaruh adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh yang memimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Proklamasi 17 Agustus 1945 memperoleh legitimasi keagamaanya setelah para ulama di Aceh menyatakan dukungan.

Pengaruh ulama yang besar ini sangat nyata di akar rumput. Pada akhir tahun 1945 terjadi Perang Cumbok di wilayah Aceh Pidie. Ini adalah perang antara ulama danuleebalang yang diangap mendukung kembalinya Belanda ke Aceh. Perang ini dimenangi tentu saja oleh ulama yang didukung oleh rakyat. Perang Cumbok ini kemudian menyebar hingga ke luar Aceh Pidie. Setiap uleebalang dicurigai dan ditangkapi. Salah satu korban itu adalah Teuku Nyak Arif sendiri yang seorang uleebalang. Pada awalnya, sebagai residen, Nyak Arif menyatakan dukungannya terhadap Perang Cumbok ini. Para bangsawan di Cumbok dan sekitarnya dianggap mengkhianati perjuangan kemerdekaan. Tapi niat yang awalnya berbau nasionalisme ini bergeser ke motif keagamaaan. Pangkal soalnya adalah pada zaman Belanda kaum ulama dianaktirikan sedangkan kaum bangsawan diberi hak istimewa. Tak jarang, para ulama menjadi korban ketidakadilan oleh bangsawan itu. Karena itu ketika Belanda angkat kaki dari Aceh, para ulama terutama yang tergabung dalam PUSA menyimpan dendam terhadap mereka.

Teuku Nyak Arif pun termasuk korban. Dia ditangkap oleh Teungku Amir Husin Almujahid dari Tentara Perjuangan Rakyat (TPR) di Kutaraja. Almujahid juga ketua pemuda PUSA. Menurut Muhammad Nur El Ibrahimy dalam buku Teungku Daud Beureuh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh, penangkapan Nyak Arif adalah murni salah paham. Nyak Arif dianggap bekerjasama dengan seorang tentara Belanda, Mayor Knottenbelt pada masa awal kemerdekaan. Knottenbelt adalah perwira NICA yang saat itu ingin mengembalikan kekuasaan Belanda. Seperti juga di Medan, Surabaya, dan daerah lainnya, penolakan Rakyat terhadap NICA begitu gencar.
Teuku Nyak Arief

Tapi dalam buku Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif, penangkapan itu dilatarbelakangi motif Husin Al Mujahid untuk merebut kekuasaan. Nyak Arif yang waktu itu juga berpangkat mayor jenderal membiarkan dirinya ditangkap meski dia bisa memerintahkan Tentara Keamanan Rakyat untuk menghadapi pasukan TPR. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 1 Maret 1946. Katanya waktu itu:

Biarlah saya serahkan jabatan ini asal tidak terjadi pertumpahan darah seperti di Pidie (Perang Cumbok). Buat apa kita berperang dengan bangsa sendiri. Kalau hanya pangkat dan kedudukan kita itu saja yang dikehendakinya, serahkanlah dan jangan dengan mempertahankan pangkat dan kedudukan kita, rakyat yang tidak mengetahui persoalannya dijadikan korban. Kemerdekaan kita baru saja mulai. Banyak pikiran dan tenaga yang diperlukan oleh negara kita di masa yang akan datang. Kalau pengorbanan yang kita berikan dalam perjuangan hanya untuk mencari pangkat dan kedudukan, maka kemerdekaan yang kita inginkan tidak akan tercapai.

Dia pun segera diasingkan ke Takengon, Aceh Tengah. Tragis, di kota berhawa sejuk ini dia menghembuskan napasnya yang terakhir karena penyakit diabetes. Ini terjadi pada 4 Mei 1946.

Teuku Nyak Arif dimakamkan di Lamnyong, Aceh Besar. Letaknya persis di tepi sungai. Saya pernah lewat di makamnya itu. Di situ tertulis papan nama “Makam Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif: 1899-1946″. Ketika tsunami pada 26 Desember 2004 lalu, makam ini sempat tergenang oleh air sungai yang meluap akibat ombak tsunami.

Pada bulan Oktober 1945 utusan sekutu tiba di Kutaraja yang bernama Mayor Knotienbelt untuk membicarakan pendaratan Sekutu di Aceh dalam rangka melucuti senjata-senjata Jepang dan mengurus para tawanan perang. Residen Teuku Nyak Arief menolak rencana sekutu ini. Memasuki bulan Desember 1945 Residen Teuku Nyak Arief sering digantikan oleh Tuanku Mahmud dan Teuku Panglima Polem Moh. Ali sebagai Wakil Residen. Hal ini diakibatkan karena residen sering mengadakan perjalanan dan peninjauan ke daerah-daerah, terutama di daerah yang kurang aman.

Desember 1945 terjadilah peristiwa perang Cumbok mengakibatkan perpecahan antara golongan bangsawan dan Ulama. Ulama ingin merebut tampuk pemerintahan dari golongan Uleebalang (bangsawan). Pada saat itu Teuku Nyak Arief merasa sedih ketika mendengar peritiwa tersebut, karena Beliau telah berusaha mempersatukannya sejak zaman Hindia Belanda dan Jepang, dan berhasil. Namun perpecahan tidak mungkin dielakkan.

Ulama dibawah PUSA dan Pesindo berhasil menguasai Aceh, dan membunuh banyak Uleebalang, dan mengambil alih harta dan tanah mereka. Laskar Ulama (Mujahiddin)yang di dipimpin Husein Al Mujahid mempunyai ambisi untuk menggantikan residen Nyak Arif, dan mendapat dukungan dari TPR (Tentara Perlawanan Rakyat). Teuku Nyak Arief di tangkap pada Januari 1946 oleh TPR. Penangkapan terhadap Teuku Nyak Arief dilakukan pada saat beliau dalam keadaan sakit. Teuku Nyak Arief membiarkan dirinya untuk ditawan oleh laskar Mujahidin dan tentara perlawanan rakyat (TPR), dan meminta pasukan yang menjaganya untuk tidak memberi perlawanan.

Dalam keadaan sakit Teuku Nyak Arief masih memikirkan tawanan lainnya dan keadaan rakyat Aceh pada umumnya. T. Nyak Arif meninggal pada tanggal 4 Mei 1946 di Takengon. Ia sempat berpesan kepada keluarganya: “Jangan menaruh dendam, karena kepentingan rakyat harus diletakkan di atas segala-galanya”. Jenazahnya dibawa ke Kutaraja dan dikebumikan di tanah pemakaman keluarga di Lamreung, dua kilometer dari Lamnyong.

Teuku Nyak Arif dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 071/TK/1974.

Sigli-Perempuan itu sedang mengupas buah pinang di teras rumahnya–di Meunasah Blang, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie, Selasa 26 Maret 2013. Di teras rumoh Aceh (rumah adat Aceh) turun-temurun milik keluarganya, perempuan itu menyambut The Globe Journal dengan ramah dan bersahaja. “Silahkah duduk,” katanya. Rumahnya mungkin tak jauh berbeda dengan rumah-rumah adat Aceh lainnya jika dilihat sekilas, namun jika ditelisik lebih dalam, di rumah itulah panglima pasukan perang cumbok:Teuku Daud Cumbok menetap pada masa hidupnya.

Perempuan itu adalah Pocut Hasmamurni, 68 tahun. Ia adalah anak dari pasangan Teuku Muhammad Hasan dan Pocut Siti Fatimah Zuhra. Teuku Muhamad Hasan sendiri adalah anak dari T. Daud Cumbok, sedangkan Pocut Siti Fatimah Zuhra adalah putri dari Teuku Panglima Polem. kediaman Pocut Hasmamurni di Gampong Meunasah Blang, Kec. Sakti, Kab. PidieT. Daud Cumbok, kakek dari Pocut Hasmamurni, adalah Gunco (bupati) Lamlo (setelah perang Cumbok berakhir Lamlo diganti menjadi Kota Bakti, Kecematan Sakti). Pada akhir 1945 hingga 12 Januari 1946, Perang Cumbok meletus selama 22 hari, dan memakan banyak korban, terutama dipihak Uleebalang.

Perang Cumbok adalah perang antara ulama Aceh yang terhimpun dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dengan para Uleebalang. Perang tersebut berpusat di Pidie. Dalam buku Mengapa Aceh Bergejolak, Hasan Saleh menceritakan bahwa Perang Cumbok terjadi tatkala kabar kekalahan Jepang telah diketahui kaum uleebalang, sehingga para uleebalang mulai menyusun rencana menggapai kembali kekuasaan mereka, yang dulunya dengan leluasa bisa mereka peroleh di wilayah-wilayah mereka masing-masing atas perintah Belanda.

“Ketika proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dicetuskan, golongan feodal bertanya-tanya, apa artinya proklamasi itu bagi kelangsungan kekuasaan mereka,” tulis Hasan Saleh. Namun setiap peperangan pastilah menyimpan luka bagi siapapun yang pernah mengalaminya. Hasmamurni menuturkan, ia kehilangan ayahnya pada saat masih terlalu kecil. “Ayah saya dikenal pintar, oleh sebab itu ia dikirim Jepang untuk sekolah di Padang, sumatera Barat”. Ia teringat kampung halaman, dan memutuskan untuk pulang. Ayah saya dibunuh dan ditanam di Glee Cirieh. Pada saat itu umur saya kira-kira 9 bulan. Cerita kematian ayah saya, saya dengar dari nenek saya saya mulai beranjak dewasa,” ungkap Hasmamurni. Ia tak terlihat sedih, seolah peristiwa kelam tersebut telah lama ia ikhlaskan. Hasmamurni kemudian mengambil sebuah foto di dalam rumahnya. Ia menyodorkan foto ibunya. “Ini Ibu saya, Pocut Siti Fatimah Zuhra. Ibu saya adalah putri Panglima Polem,” ujarnya menutup pembicaraan.

Sejarah harus memiliki benih yang lebih baik dan berkualitas agar dapat mengubah kulit dan arah perkembangannya. Bila tidak, maka tidak ada fungsinya mengambil pelajaran dari sejarah. Kemajuan juga tidak bisa diharapkan dari pergantian sejarah. Kelemahan fundamental sebuah rezim pun terlihat sejelas siang, sehingga ia pun dihancurkan oleh kelompok baru, yang kemudian mendirikan rezim baru yang hanya memiliki peran mengulang kembali lingkaran bencana dan fase yang sama meskipun jangka waktu dan bentuknya berbeda.

Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari rangkuman di atas.


No comments:
Write komentar

Tinggalkan Komentar!