TEUNGKU MUHAMMAD HASAN bin Tgk H. Syeh Muhammad Hanafiah bin Tgk. Syeh Abbas bin Tgk Syeh Muhammad fadhil bin Syeh Abdurrahman bin Faisal bin Ramah bin Al La’badah bin Al Hauraani Ibnu as sab’ah yang berkebangsaan Arab datang ke Aceh sekitar tahun 1564 adalah salah seorang ulama Aceh lahir pada tahun 1886 di Krueng Kalee Banda Aceh dan wafat tahun 1973 M.Abu Muhammad Hasan Krueng Kalee adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Tgk. H. Muhammad Hanafi dengan Nyakti Hafsah binti Syeh Isma’il. Tgk Syeikh Abbas yang dikenal dengan sebutan Tgk H Muda Krueng Kalee yang juga ulama besar. Ayahnya tersebut pernah menjabat Qadhi kerajaan untuk wilayah XXVI Mukim.
Hampir semua masyarakat Aceh pernah mendengar nama Teungku Haji
Muhammad Hasan Krueng Kalee, seorang ulama besar Aceh yang lahir di Gampong
Langgoe Meunasah Keutumbu, Pidie pada 13 Ra’jab 1303 H bertepatan dengan
tanggal 18 April 1886 M.
Dalam dunia pendidikannya, Ibunda Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee
yang bernama Nyakti Hafsah binti Tgk Syeikh Ismail Krueng Kalee adalah guru
pertamanya. Selain untuk diri Hasan, ibunya juga untuk mengajar mengaji untuk
anak anak seusianya selama di pengungsian akibat agresi Belanda di Gampong
Langgoe Muenasah Keutumbu, Pidie. Dan akhirnya setelah masa pengungsian usai,
keluarga Tgk Muhammad Hasan kembali ke Krueng Kalee.
Sejak kecil Tgk Muhammad Hasan mulai belajar ilmu dasar agama Islam,
seperti fiqh, nahu, sharaf, tarikh Islam, hadits, tafsir dan ilmu lainnya pada
Tgk Chik di Keuboek Siem, Aceh Besar yang juga kerabatnya. Kemudian dia juga
berguru pada Tgk Chik di Lamnyong.Tgk Hasan juga dikenal dengan nama Abu Di
Yan, nama tersebut mengacu pada daerah Yan, Keudah Malaysia sebagai tempat ia
menuntut ilmu selanjutnya.
BACA JUGA: Suatu Ketika Hasan Tiro Pernah Memberi Amanah, 'Siapa yang Akan Memimpin Setelah Dirinya Tiada'
Di lembaga pendidikan bernama Madrasah Al Irsyadiyah al-Diniyah
di Kampung Acheh Yan, Keudah. Lembaga pendidikan tersebut didirikan pada tahun
1902 oleh Tgk Muhammad Arshad ie Leubeu yang akrab di kenal dengan Tgk Di
Bale’. Di lembaga pendidikan Islam tersebut Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee
tergolong murid generasi pertama.
Setelah belajar di Malaysia, diusia 23 tahun Tgk Muhammad Hasan Krueng
Kalee berangkat ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji serta bermaksud
melanjutkan pendidikan tingginya di Masjidil Haram. Sebelum berangkat ke
Mekkah, Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee pulang ke Aceh untuk berpamitan dengan
keluarga dan mengajak adik kandungnya Tgk Abdul Wahab belajar disana. Enam
bulan di Arab Saudi, Tgk Abdul Wahab meninggal dunia dan Tgk Muhammad Hasan
Krueng Kalee tetap bertahan melanjutkan pendidikannya hingga usai.
Itulah sedikit dari banyak kisah yang ada dalam buku Teungku Haji
Muhammad Hasan Krueng Kalee yang ditulis oleh tiga alumnus Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Ar Raniry, yakni Mutiara Fahmi Razali, Muhammad Faisal
Sanusi dan Qusaiyen Aly As Su’udi. Buku tersebut dicetak pada tahun 2010 lalu.
BACA JUGA: Ingat Sejarah: Ternyata Malaysia, Brunei, dan Indonesia Banyak Berhutang Budi ke Samduera Pasai Aceh
Selain tentang pendidikan, Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee dalam buku
tersebut sarat dengan informasi lain seputar kehidupan ulama besar Aceh ini,
antara lain seputar rumah tangganya, penghargaan yang pernah ia peroleh,
kiprahnya dalam politik dan pendidikan di Aceh. Disana juga berkisah tentang
arah perjuangan dan nilai-nilai keteladanannya selama Tgk Hasan Krueng Kalee
hidup.
Muhammad Faisal Sanusi seorang penulis yang dijumpai langsung
AtjehLINK pada Sabtu (23/03/2013) di Dayah Darul Ihsan mengatakan bahwa awalnya
tidak ada niat untuk menulis buku, namun hanya sekedar ingin mengetahui tentang
Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee saja.Dalam perjalanannya, Faisal Sanusi
dan dua rekan lainnya merasa harus mengumpulkan seluruh informasi tentang Tgk
Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee karena banyak dari tulisan beliau yang menjadi
referensi penulis sudah mulai tidak terawat.
Melihat kondisi ini, penulis merasa perlu merangkum semua tentang kisah
perjalanan seorang ulama besar Aceh yang sudah berjasa dalam membangun dan
berkarya untuk Aceh. Sejak itulah niat menulis buku dimulai. Sumber bahan
penulisan mulai dari orang-orang yang pernah mengetahui dan dekat dengan Tgk Muhammad
Hasan semasa hidupnya, begitu juga dengan referensi lain yang pernah ditulis
oleh Tgk Hasan sendiri atau orang lain.
Faisal menambahkan, selama ini sudah bayak buku biografi Tgk.Muhammad
Hasan Krueng Kalee karangannya yang dibagi-bagikan kepada yang membutuhkan dan
untuk masyarakat yang ingin mempunyai buku tentang Tgk Muhammad Hasan Krueng
Kalee dapat berkunjung langsung ke Dayah Darul Ihsan Siem, Kecamatan
Darussalam, buku tersebut akan diberikan secara cuma-cuma. (zamroe)
Siapa Teungku Hasan?
Kediaman Abu Hasan Krueng Kalee
FOTO | dayahdi
|
Syaikh Teungku Hasan bin Teungku Muhammad Hanafiyyah bin Teungku Syaikh 'Abbas bin Teungku Muhammad Fadhli. Yang lebih dikenali sebagai Syaikh Hasan Krueng Kaleeatau Abu Krueng Kalee adalah salah seorang ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama`ah kelahiran Aceh.Untuk pengetahuan, "teungku" adalah gelaran hormat masyarakat Aceh yang diberi kepada ulama, sebagaimana "teuku" pula diberikan kepada bangsawan atau pemimpin.
Beliau lahir pada tanggal 13 Rajjab 1303 H, bertepatan dengan 18 April
1886 H. di desa Meunasah Letembu, Langgoe Kabupaten Pidie, Aceh. Ketika itu
ayahnya yang bernama Tgk. Muhammad Hanafiyah yang merupakan pimpinan dayah
Krueng Kalee sedang dalam pengungsian di daerah tersebut akibat perang dengan
Belanda yang berkecamuk di kawaasan Aceh Besar.
Muhammad Hasan kecil dibawa kembali oleh orang tuanya ke kampong
halaman mereka di Krueng Kalee. Di sanalah perjalanan keilmuannya dimulai di
bawah asuhan ayahanda Tgk. Muhammad Hanafiyah yang dikenal dengan panggilan
Teungku Haji Muda. Selain itu ia juga belajar agama di Dayah Tgk. Chik di
Keubok pada Tgk. Musannif yang menjadi guru pertama setelah ayahnya
sendiri.Ketika umurnya beranjak dewasa, ia melanjutkan pendidikan ke negeri Yan
Keudah, Malaysia, yakni di Pesantren Tgk.
Chik Muhammad Irsyad Ie Leubeu. Yang
terakhir ini merupakan ulama Aceh yang turut mengungsi ke negeri Jiran akibat
situasi perang.
Dari Yan, Tgk. M. Hasan bersama adik kandungnya yang bernama Tgk. Abdul
Wahab berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan pendidikan di Mesjid al-Haram,
namun tidak lama setiba mereka di sana, adiknya tersebut meninggal dunia karena
sakit. Hal ini tidak membuat Tgk. Hasan patah semangat, ia tetap sabar dan
teguh melanjutkan pendidikannya dari para ulama besar Mesjid al-Haram hingga
lebih kurang 7 tahun.
Selain belajar ilmu agama, ia juga belajar ilmu falak dari seorang
pensiunan jenderal kejaaan Turki Ustmani yang menetap di Mekkah. Hal mana
kemudian membuatnya alim dalam ilmu Falak dan digelar dengan sebutan “Tgk.
Muhammad Hasan Al-Asyie Al-Falaky.”
Sekembalinya dari Mekkah, Abu Krueng Kalee tidak langsung pulang ke
Aceh tapi terlebih dahulu singgah di Pesantren gurunya Tgk. M. Irsyad Ie Leubeu
di Yan Kedah. Di pesantren ini Abu Krueng Kalee sempat mengajar beberapa tahun
dan kemudian dijodhkan oleh gurunya dengan seorang gadis yatim keturunan Aceh
bernama Nyak Safiah binti Husein.
Atas panggilan pamannya Tgk. Muhamad Sa’id- Pimpinan Dayah Meunasah
Baro- Tgk. M. Hasan pulang untuk mengabdi dan mengajar di Dayah tersebut. Tidak
lama berselang, Abu Krueng Kalee membuka lembaga pendidikannya sendiri di
Meunasah Blang yang hari ini terletak di Desa Siem bersebelahan dengan Desa
Krueng Kalee, Kec. Darussalam, Aceh Besar.Di tempat terakhir ini, Abu Krueng
Kalee mulai menbgabdikan seluruh ilmunya dan berhasil mencetak kader
ulama-ulama baru berpengaruh dan berpencar di seluruh Aceh, Di antara
murid-murid beliau yang berhasil menjadi ulama adalah :
1. Teungku Ahmad Pante, ulama dan imam
masjid Baitur Rahman Banda Aceh.
2. Tgk. H. Mahmud Blang Bladeh, Bireuen.
3. Tgk. H. Abdul Rasyid Samlako Alue Ie
Puteh,
4. Tgk. H. Yusuf Kruet Lintang
5. Tgk. Haji Adnan Bakongan
6. Teungku Hasan Keubok, ulama dan qadhi Aceh
Rayeuk.
7. Teungku Muhammad Saleh Lambhuk, ulama dan
imam masjid Baitur Rahman Banda Aceh.
8. Teungku Abdul Jalil Bayu, ulama dan pemimpin
Dayah Al-Huda Aceh Utara.
9. Teungku Sulaiman Lhoksukon, ulama dan pendiri
Dayah Lhoksukon, Aceh Utara.
10. Teungku Yusuf Peureulak, ulama dan ketua majlis ulama
Aceh Timue.
11. Teungku Mahmud Simpang Ulim, ulama dan pendiri Dayah
Simpang Ulim, Aceh Timue.
12. Teungku Haji Muda Waly Labuhan Haji, pendiri Dayah
Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan.
13. Tgk. H. Idris Lamreng (Ayah Alm. Prof. Dr. Safwan Idris,
Rektor IAIN Ar-Raniry)
14. Teungku Syaikh Mud Blang Pidie, ulama dan pendiri Dayah
Blang Pidie, Aceh Barat Daya
15. Syaikh Syihabuddin, ulama dan pendiri Dayah Darussalam
Medan, Sumatera Utara.
16. Kolonel Nurdin, bekas Bupati Aceh Timue.
17. Teungku Ishaq Lambaro Kaphee, ulama dan pendiri Dayah
Ulee Titie.
Pada tahun 2007, senin 7 Mei, bertepatan
dengan 19 Rabiul Akhir 1438 H. Sebuah forum tingkat tinggi ulama Aceh menggelar
pertemuan kedua di Mesjid Raya Baiturrahman; pada pertemuan yang menghadirkan
ratusan ulama Aceh ini menyimpulkan bahwa ada empat ulama Aceh yang telah
sampai pada tingkat Ma’rifatullah.
Keempat ulamanya yaitu; Syaikh
Abdurrauf As-Singkili, Syaikh Hamzah Fansuri, Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee dan Tgk Syaikh H.Muhammad Waly Al-Khalidy ( Tgk H Muda Waly )
2
P Peran Tgk. H. M. Hasan Krueng Kalee secara khusus sangat besar artinya
bagi perekembanagn dan kemajuan pendidikan agama di Aceh pada masa berikutnya.
Demikian pula kiprahnya dalam bidang politik telah memberi arti vital, dukungan
dan semangat bagi kelangsungan RI yang ketika itu baru seumur jagung.
Kiprah dalam Politik dan Organisasi Islam
Satu hal yang menarik dikaji pada tokoh Abu Krueng Kalee adalah
kiprahnya di dunia politik. Meski Abu Krueng Kalee seorang ulama salafi dan
sufi terkemuka di Aceh yang dikenal sangat fanatik, namun hal tersebut tidak
lantas membuatnya jauh dari dunia politik yang seolah dianggap tabu dan
berseberangan dengan ajaran agama.
Pada masa revolusi kemerdekaan, Tgk Haji
Hasan Krueng Kalee ikut aktif berjuang menegakkan kemerdekaan Republik
Indonesia, para pemimpin perjuangan bukan hanya tokoh politik saja, tetapi juga
dipelopori oleh ulama.
Para ulama tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan
bergabung dalam suatu organisasi seperti PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh),
Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan lain-lain.
Pada tanggal 1-2 Oktober 1932 ketika diadakan Musyawarah Pendidikan
Islam di Lubuk, Aceh Besar, Tgk.Haji Hasan Kruengkalee terlibat didalamnya.
Pada kegiatan ini membicarakan masalah pembaruan dan perbaikan pendidikan
Islam.
Ulama-ulama terkemuka hadir menjadi peserta pada kegiatan tersebut,
diantaranya adalah Tgk H.Hasballah Indrapuri, Tgk H.Abdul Wahab Seulimum, Tgk
Muhammad Daud Beureueh, Tgk M.Hasbi Ash-Shiddiqy, Tgk Haji Hasan Kruengkalee,
Tgk. H.Trienggadeng dan lain-lain sebagainya. Keputusan-keputusan yang diambil
dari musyawarah pendidikan Islam tersebut adalah:
- Tiada sekali-kali terlarang dalam agama islam kita mempelajari ilmu keduniaan yang tidak berlawanan dengan syariat, malah wajib dan tidak layak ditinggalkan buat mempelajarinya.
- Memasukkan pelajaran-pelajaran umum itu ke sekolah-sekolah agama memang menjadi hajat sekolah-sekolah itu.
- Orang perempuan berguru kepada orang laki-laki itu tidak ada halangan dan tidak tercegah pada syara.
Setelah proklamasi 17 agustus 1945, Tgk H.Hasan Krueng Kalee
menandatangi sebuah pernyataan bersama mengenai perang kemerdekaan. Bersama
tiga orang ulama besar yaitu Teungku haji Jakfar Siddiq Lamjabat, Teungku Haji
Hasballah indrapuri dan Teungku Muhammad Daud Beureueh. Pernyataan itu
menegaskan bahwa :
”Menurut keyakinan kami bahwa perjuangan ini
adalah perjuangan suci yang disebut perang sabil.Maka percayalah wahai bangsaku
bahwa perjuangan ini adalah sebagai sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin
oleh almarhum Teungku chik Ditiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain.
Dan sebab itu bangunlah wahai bangsaku sekalian, bersatu padu menyusun bahu,
mengangkat langkah menuju ke muka untuk mengikut jejak perjuangan nenek kita
dahulu. Tunduklah dengan patuh akan segala perintah-perintah pemimpin kita
untuk keselamatan tanah air agama dan bangsa.”
Pernyataan tersebut tertanggal 15 Oktober 1945. untuk menggerakkan
orang-orang dewasa dan orang-orang tua agar berjihat dalam satu barisan
teratur, barisan sabil atau barisan mujahidin. Pada tanggal 25 Oktober Tgk Haji
Hasan Krueng Kalee mengeluarkan sebuah seruan tersendiri yang sangat penting.
Seruan ini ditulis dalam bahasa Arab kemudian dicetak oleh Markas Daerah PRI
(Pemuda Republik Indonesia) dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh
ketua umumnya Ali Hasjmy tertanggal 8 November 1945 Nomor 116/1945 dan dikirim
kepada para pemimpin dan ulama diseluruh Aceh. Setelah seruan penting itu
tersiar luas, maka berdirilah barisan Mujahidin di seluruh Aceh yang kemudian
menjadi Mujahidin Devisi Teungku Chik Ditiro.
Pada masa itu Tgk Haji Hasan Krueng Kalee merupakan salah seorang
penasehat Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), yaitu salah satu organisasi
yang bertujuan untuk mendidik masyarakat melalui organisasi tersebut guna
meningkatkannya menjadi wadah pendidikan yang lebih berdaya guna. Tetapi pada
masa hangt-hangatnya perjuangan membela tanah air, organisasi ini menjadi
pelopor dalam menggerakkan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda, seperti
yang dikemukakan oleh Prof. A. Hasjmy dalam salah satu tulisannya.
Pada awal tahun 1942 Pusa (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan Perti (
Persatuan Tarbiyah Islamiyah) menggerakkan sebuah pemberontakan terhadap
pemerintah Hindia Belanda di Aceh, adalh hal yang logis karena para pemuda yang
aktif dalam pemberontakan tersebut sebagian besar mereka yang telah ditempa
iman dan semangat jihadnya dalam madrasah-madrasah, yang sistem pendidikan dan
kurikulumnya telah diperbaharui.Dapat diketahui bahwa hanya dua organisasi
Islam yang tampil sebagai pelopor yang menggerakkan pemberontakan rakyat
terhadap penjajahan Belanda, meskipun banyak juga organisasi-organisasi lain
yang mulai tumbuh di Aceh.
Dengan demikian para ulama tergabung dalam organisasi Persatuan
Tarbiyah Islamiyah maupun Perasatuan Ulama Seluruh Aceh, juga para pemuda yang
telah ikut aktif dalam pemberontkan terhadap Belanda. Melalui wadah organisasi
ini pula bersama-sama dengan ulama-ulama lain seperti disebutkan diatas Tgk
Haji Hasan Krueng Kalee mengeluarkan fatwa tentang perlunya seluruh rakyat
berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dengan jalan jihad fi
sabilillah, hal ini terjadi pada tanggal 15 Oktober 1945.
Almarhum Tgk Haji Hasan Krueng Kalee juga telah mengeluarkan fatwa
tentang seruan jihad fi sabilillah untuk melawan Belanda pada tanggal 15
Oktober 1945, dalam rangka mempertahankan Negara Republik Indonesia yang
ditangani oleh beberapa ulama Aceh lainnya, diantaranya oleh Tgk Haji Hasan
Krueng Kalee, Teungku Haji Muhammad Daud Beureueh, Teungku Ja’far Lamjabat
alias Teungku Syik Lamjabat dan Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri (Teungku
Indrapuri).Dari uraian diatas jelas bahwa Tgk Haji Hasan Krueng Kalee, pada
awal tahun proklamasi Republik Indonesia, beliau pernah mengeluarkan fatwa
Aceh, tentang seruan jihad fisabilillah melawan Belanda dalam rangka
mempertahankan Indonesia merdeka bersama-sama ulama Aceh lainnya.
Meskipun pada
masa setelah kemerdekaan, mulai muncul organisasi islam yang lain, namun Tgk
Haji Hasan Krueng Kalee tetap menyalurkan aktifitasnya melalui organisasi
Perti.Himbauan jihad diatas, telah menggerakkan masyarakat tampil kemedan
perjuangan di tanah Aceh untuk merebut kemerdekaan dan mempertahankannya.
Mereka umumnya tergabung dibawah organisasi misalnya Pusa, pemuda Pusa,
kasyafatul Islam, Muhammaddiyah, Pemuda Muhammaddiyah, Perti, Permindo
(Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), maupun organisasi-organisasi Islam
lainnya.Kiprah politik Abu Krueng Kalee juga terlihat dalam kasus perang Cumbok
antara pasukan Uleeblang Aceh pimpinan Teuku Daud Cumbok dengan pasukan pejuang
Aceh yang mendukung kemerdekaan RI. Pada dasarnya tidak semua ulama setuju
dengan perang ini.
Abu Krueng Kalee salah seorang di antaranya. Abu Krueng
Kalee lah yang di utus pihak pejuang Aceh di Kuta Raja untuk menemui Teungku
Daud Cumbok agar mau berdamai. Namun ajakan itu ditolak. Atas sikapnya yang
netral itu beliau diangkat oleh Komite Nasional Daerah Aceh menjadi salah
seorang anggota tim penyelidikan asal-usul tragedi besar “perang saudara” yang
telah merenggut sekitar 1500 nyawa rakyat Aceh dipenghujung tahun 1945
tersebut.
Dayah Darul Ikhsan Tgk. Haji Hasan Krueng Kalee
Dayah Darul Ikhsan Abu Hasan Krueng Kalee
FOTO | Laduni
|
BACA JUGA: Sejarah Asal Mula Berdirinya DAYAH di Aceh
Pada tanggal 19 Januari 1973, tepatnya malam Jum’at sekitar pukul 03.00
dini hari, Abu Krueng Kalee menghembuskan nafasnya yang terakhir. Meninggalkan
tiga orang istri; Tgk. Hj. Nyak Safiah di Siem; Tgk. Nyak Aisyah di Krueng
Kalee; dan Tgk. Hj. Nyak Awan di Lamseunong. Dari ketiga istri tersebut Abu
Krueng Kalee Meninggalkan Tujuh belas orang putra dan putri. Salah seorangnya
yaitu Tgk. H. Syech Marhaban sempat menjabat Mentri Muda Pertanian pada masa
pemerintahan Presiden Soekarno.
Tgk. H. Hasan Krueng Kalee memang telah tiada, namun dengungan suara
tahlil dan shamadiyah menurut tarekat Al-Haddadiyah masih menggema dan terus
terdengar di berbagai desa dan kota di Serambi Mekkah. Seiring dengan itu fatwa
syahid yang beliau keluarkan masih terus relevan dan memberi motivasi sendiri
bagi masyarakat Aceh dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan. Wallahu’alam. (DIPOSTING OLEH
YASIRMASTER).
Abu Hasan Krueng Kalee adalah Ahli Falakiyah Aceh
Diantara guru-gurunya selama berada di Mekkah adalah syeh said
Alyamani Umar bin Fadhil, Syeh khalifah, Syeh said Ahmad bin said Abibakar al
Syattar addimyati, Syeh Abdullah Isma’il, Syeh Hasan Zamzami, Syeh Abdul Maniem
dan Syeh Yusuf Annabhany. Abu hasan Krueng Kalee menetap di Mekkah selama tujuh
tahun yaitu dari tahun 1909-1916 M.
Disamping menguasai berbagai disiplin
ilmu agama yang lazim dipelajari oleh ulama lain, Ia juga menguasai Handasatul
Mutsallastaat (ilmu ukur sudut) dan ilmu falak (Astronomi). Dalam mempelajari
ilmu falakiyah, beliau memiliki Rubu’al Mujayyab, suatu alat ukur yang
sederhana dalam ilmu falakiyah, belia belajar ilmu ini pada
pensiunan Jenderal Turki Usmani yang telah bermukim di Mekkah diketika itu.
Yang beminat menukuni ilmu falak dari nusantara waktu itu cuma abu Hasan Krueng
Kalee dan Syeh Jamil Jaho dari Padang. Sehingga nama abu hasan Krueng Kalee
dikenal dengan sebutan Syeh Muhammad Hasan Al Asyie al Falaky.
Dalam
ilmu falak beliau menganut faham rukyatul hilal dan kriteria bulan bisa dilhat
6 derajat di atas ufuk mar’i. untuk menghindari komplik dalam penentuan awal
bulan Ramadhan dan wal Syawal, setiap tahun beliau mengeluarkan imsakiyah
pribadi sebagai rujukan umat islam Aceh dengan standar jam kreta api waktu itu.
Bahkan hasil hisabnya diakui pemerintah Belanda sebagai penentuan resmi awal
puasa di Aceh pada masa penjajahan.Suatu ketika, seorang konteler (ahli ukur
sudut ) Belanda yang ingin menguji kehebatan Abu Hasan Krueng Kalee dalam Ilmu
Falakiyahnya dan ukur sudut datang menjumpai Abu di dayah menasah blang sambil
minum air kelapa, kolonel itu bertanya berapa tinggi gunung yang terlihat jelas
dari dayah,,? Setelah Abu memikir sejenak beliau langsung menjawab dengan benar
dan diakui oleh kolonel Belanda tersebut. (sumber: media dakwah santi dayah
edisi 10 / 2011 dengan penambahan dan pengurangan seperlunya).(OLEH: TGK. ISMAIL, S.Sy)
Sepak Terjang Abu Krueng Kalee
”Abu Krueng Kalee nyaris membuat Aceh menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri. Namun semuanya buyar setelah usulan itu tak diterima Daud Beureueh yang pada akhirnya ia sendiri tertipu janji palsu Soekarno...”
Abu Hasan Krueng Kalee bersama Soekarno
FOTO | Istimewa
|
Sapaan akrab Abu Krueng Kalee jika bertandang ke Gampong Siem, Aceh
Besar, mungkin tak asing lagi bagi masyarakat di sana. Tgk H Muhammad Hasan
Krueng Kalee itulah nama aslinya yang kini telah bersemat megah di sebuah
pondok pesantren: Darul Ihsan Tgk Hasan Krueng Kalee. Pesantren itu juga dikenal
dengan sebutan “Dayah Manyang”.Abu Krueng Kalee merupakan salah satu ulama
kharismatik Aceh.
Ia lahir pada 13 Rajab 1304 H/18 April 1886 M di Gampong
Langgoe Meunasah Keutumbu, Mukim Sangeue, Kabupaten Pidie. Abu, begitu ia
disapa, selain piawai dalam mengajarkan ilmu agama dan pendidikan, juga menjadi
sosok ulama yang begitu peduli dengan keadaan politik dan sosial Aceh pada
masa-masa kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Melihat sepak terjang Abu dan sejarah hidupnya memang sangat
mengagumkan, khususnya bagi generasi Aceh yang ingin tahu banyak tentang kisah
hidup ulama-ulama Aceh yang berjaya pada masanya.Abu Krueng Kalee menjadi ulama
bukan karena diagungkan oleh masyarakat Aceh pada waktu itu, melainkan
pengorbanannya pada Aceh yang begitu besar, sehingga ia diberi gelar
“Ma’rifaullah” atau “al A’rif billah”. Gelar itu ia terima pada sebuah forum
tingkat tinggi ulama se-Aceh, 5 Mei 2007, di Masjid Raya Baiturrahman.
Pada
pertemuan itu para ulama Aceh telah sepakat, selain Abu Krueng Kalee, ada tiga
ulama lainnya yang telah sampai pada tingkat Ma’rifatullah. Dua di antaranya
ulama terkemuka masa silam, yakni Syeikh Abdurrauf as Singkily dan Syeikh
Hamzah al Fansuri dan Tgk H Muhammad Waly Al-Khalidy atau lebih dikenal dengan
Tgk H Muda Waly—pendiri salah satu pesantren terkemuka di Labuhan Haji, Aceh
Selatan.
Pandangan Politik Abu
Berbicara masalah politik (siyasah) bukan barang langka bagi Abu,
terlebih setelah Indonesia merdeka.
Abu piawai dalam mengambil berbagai
keputusan politik di Aceh, karena didasari pada penguasaannya terhadap pelbagai
ilmu sejarah, baik sejarah Islam (tarikh al Islamy) maupun dunia.Dari itu, Abu
mampu mengkaji elemen-elemen sosial dan politik dalam menghadapi berbagai
persoalan dan peristiwa yang muncul saat itu.Dalam biografi singkat “Teungku
Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee (1886-1973): Ulama Besar dan Guru Umat” yang
diterbitkan Yayasan Darul Ihsan Tgk Hasan Krueng Kalee disebutkan, pada
hakikatnya seseorang yang ingin mendalami kandungan Alquran dengan baik dan
benar, mutlak harus mengetahui Sirah Nabawiyah sebagai upaya mengambil suatu
hukum dan i’tibar serta memahami dengan benar ilmu fiqh sirah.
Hal itulah yang dipraktikkan Abu dalam menghadapi berbagai peristiwa
politik yang terjadi di Aceh dan nusantara semasa hidupnya.Perannya sebagai
seorang ulama salafi dan sufi terkemuka, tidak membuatnya jauh dari berbagai
persoalan-persoalan umat. Kiprahnya selalu hadir mengiringi setiap peristiwa
yang muncul di sekelilingnya.Salah satu hal yang masih membekas pada rakyat
Aceh adalah lahirnya “Makloemat Oelama Seloeroeh Atjeh” pada 15 Oktober 1945.
Maklumat itu dicetak dalam bentuk selebaran dan dibagikan ke seluruh Aceh dan
wilayah Sumatera.
Maklumat itu dikeluarkan di Kutaradja (Banda Aceh). Diprakarsai oleh
empat tokoh ulama yang mewakili seluruh ulama Aceh, yakni Tgk H M Hasan Krueng
Kalee, Tgk M Daud Beureueh, Tgk H Dja’far Siddik Lamjabat dan Tgk Ahmad
Hasballah Indrapuri. Maklumat itu merupakan wujud dukungan ulama Aceh terhadap
kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan Presiden Soekarno.
Inti muatannya, maklumat berisi keyakinan para ulama yang bernilai
fatwa: perjuangan mempertahakan kemerdekaan Indonesia adalah sama dengan
perjuangan suci yang disebut perang sabil (jihad fi sabilillah) meneruskan
perjuangan Aceh terdahulu seperti perjuangan Tgk Chik di Tiro dan pahlawan
kebangsaan lainnya.
Legitimasi maklumat mewakili rakyat Aceh ini juga mendapat dukungan
penuh dengan dicantumkannya atau diketahui oleh Teuku Nyak Arif selaku Residen
Aceh dan disetujui oleh Tuwanku Mahmud (keturunan Sultan Aceh) selaku Komite
Nasional Indonesia Daerah Aceh (KNIDA).Tak lama setelah keluarnya Maklumat
Bersama itu, Abu mengeluarkan seruan/maklumat tersendiri. Seruan yang sangat
penting atas nama pribadinya pada 25 Oktober 1945. Isinya tak jauh beda dengan
maklumat bersama.Seruan yang ditulis dalam bahasa Arab Jawi itu dicetak oleh
Markas Daerah PRI (Pemuda Republik Indonesia).
Disertai surat pengantar yang
ditandatangani Ketua Umum PRI, Ali Hasjmy, 8 November 1945 dengan Nomor
116/1945. Maklumat itu kemudian dikirim ke seluruh pimpinan dan ulama Aceh.
Adanya maklumat itu berdampak positif bagi pemerintahan RI. Berbagai
dukungan fisik dan materil rakyat Aceh untuk membiayai perjuangan Negara
Kesatuan Republik Indonesia tak terbendung, sehingga saat kunjungan pertama
Presiden Soekarno ke Aceh, Juni 1948, dengan lantang Soekarno menyatakan bahwa
Aceh dan segenap rakyatnya adalah modal pertama bagi kemerdekaan RI.
Aceh Nyaris Berdiri Sendiri
Di Blang Padang, Banda Aceh, ada sebuah bangunan tua bekas pusat
pemerintahan Belanda. Kini telah berubah wujud. Dijadikan SMA Negeri 1 Banda
Aceh.Di ‘gedung setan’, sebutan rakyat Aceh waktu itu terhadap kantor Belanda
(SMAN 1 Banda Aceh kini), menjadi saksi bisu fakta sejarah tanggal 20 Maret
1949.
Di gedung itulah pertemuan penting para tokoh-tokoh di Aceh berlangsung,
salah satunya Abu Krueng Kalee.
Pertemuan itu membahas isi sebuah surat tertanggal 17 Maret 1949 yang
dikirim Wali Negara Sumatera Timur, DR Teungku Mansur ke Aceh. Saat itu Aceh
merupakan provinsi yang dipimpin seorang Gubernur Militer dan Sipil yang
membawahi wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Dan surat itu berisi undangan
kepada Tgk M Daud Beureueh selaku Gubernur Militer Aceh untuk menghadiri rapat
yang diberi nama “Muktamar Sumatera” untuk membahas pembentukan “Negara
Republik Federasi Sumatera”.
Padahal, Muktamar Sumatera itu merupakan gagasan terselubung dari
politiknya Gubernur Hindia Belanda Van Mook untuk memecah-belah wilayah
Indonesia yang sudah memproklamirkan kemederkaannya bisa bubar. Van Mook
melakukan itu karena seluruh wilayah di Indonesia saat itu telah berhasil
diduduki Belanda pascaagresi militer ke II tahun 1948.Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI) di bawah kepemimpinan Syahruddin Prawiranegara yang
dibentuk atas perintah Soekarno, akhirnya harus pindah-pindah, yakni ke
Yogyakarta, Bukit Tinggi, dan Aceh, karena kala itu ibukota RI di Jakarta telah
diduduki Belanda serta sejumlah tokoh nasional dan termasuk Soekarno telah
berhasil ditawan Belanda.
Hanya Aceh, satu-satunya yang sepanjang perang revolusi fisik (1945-1949)
tidak berhasil diduduki Belanda, sehingga gagasan yang ditawarkan oleh Van Mook
untuk bergabung dalam Negara Republik Federasi Sumatera (NRFS) akan membuat
Indonesia pada akhirnya tak lagi berwujud.
Kepentingan Belanda untuk Aceh agar bergabung bersama NRFS sangat
besar. Aceh dianggap Belanda telah menjadi daerah modal RI dan tak lagi memberi
dukungan dan perjuangan untuk rakyat Indonesia ke wilayah lain.Suasana ‘gedung
setan’ pun hari itu berlangsung panas. Terjadi perdebatan sejak jam 10 pagi
sampai jelang jam 11 malam. Hasilnya berupa tiga pilihan: sebagian menerima
ajakan Van Mook bergabung bersama NRFS; sebagian ingin memproklamasikan Aceh
sebagai negara sendiri; dan sebagian tetap setia mempertahankan negara Republik
Indonesia.
Dari tiga pilihan itu, hanya Abu yang mengusulkan Aceh untuk berdiri
sendiri. Berbagai pertimbangan Abu uraikan. Menurutnya, roda pemerintahan
Republik Indonesia sudah lumpuh. Secara defacto, wilayah RI sudah kembali
diduduki Belanda, kecuali Aceh.
Selain itu, Aceh telah memiliki sejarah dan
kemampuan secara militer untuk berdiri sendiri lewat salah satu komando Tgk
Daud Beureueh yang menjabat Gubernur Militer dan Sipil untuk Aceh, Langkat,
dan, Tanah Karo, sehingga berbagai alat persenjataan berat peninggalan Jepang
yang berhasil dikuasai pejuang Aceh bisa menjadi salah satu modal kemampuan Abu
dan para ulama lain untuk menggalang kekuatan rakyat dalam mendukung gagasan
tersebut.
Namun saat berbagai gagasan dan uraian disampaikan Abu, Tgk Daud
Beureueh juga meminta pendapat peserta rapat atas tawaran Van Mook, tetapi
tidak ada satupun dari mereka memberikan tanggapan.
Menurut Tgk Ishak Ibrahim, salah satu anggota TNI yang pernah bertugas
di Makassar dan pada masa DI/TII menjabat sebagai komandan Batalion DI/TII
wilayah Darussalam, malam itu Tgk Daud Beureueh akhirnya menanyakan tanggapan
ke Abu tentang tawaran Van Mook.
Abu dengan tegas menjawab,
“Kalau mau senang, lepaskan Aceh dari RI. Ambil yang baik meskipun itu
keluar dari mulut rimueng (harimau).”
Tgk Daud Beureueh menentang keras jawaban Abu. Padahal sosok Abu di
mata Daud Beureueh adalah seorang guree (guru). Daud Beureueh pun kembali
mempertegas: kesetiaan rakyat Aceh terhadap RI bukan dibuat-buat, melainkan
kesetian yang tulus dan ikhlas dengan hati nurani yang penuh perhitungan dan
perkiraan.
Dalam pidatonya, Tgk Daud Beureueh mengatakan;
“…sebab itu, kita tidak bermaksud untuk membentuk suatu Aceh Raya, karena kita
di sini bersemangat Republiken. Untuk itu, undangan dari Wali Negara Sumatera
Timur itu kita pandang sebagai tidak ada saja, dari karena itu tidak kita
balas.”
Penolakan Tgk Daud Beureueh juga didasari atas keyakinannya bahwa
Soekarno akan menepati janji-janji yang telah disampaikan dengan linangan air
mata kepadanya dalam kunjungan ke Aceh tahun 1948. Pada Tgk Daud Beureueh,
Soekarno berjanji akan memberikan izin bagi Aceh untuk mengurus daerahnya
sendiri dan menjalankan syariat Islam.Akhirnya, usulan Abu tak mendapat
dukungan penuh dari peserta rapat. Ia kalah oleh pandangan mayoritas yang ingin
tetap bergabung dengan RI.
Hasil akhir pun memutuskan untuk menolak ajakan DR
Teungku Mansur dan gejolak membentuk NRFS berakhir dengan sendirinya.Akan
tetapi semangat Abu Krueng Kalee belum surut. Ia didampingi muridnya Tgk Idrid
Lamnyong di kediamannya di Banda Aceh, kembali mengajak Tgk Daud Beureueh
mendirikan Pemerintahan Aceh.
Ajakan itu diungkapkannya sehari menjelang
penyerahaan kekuasaan Belanda kepada Indonesia menjadi Republik Indonesia
Serikat (RIS) di Den Haag, 27 Desember 1949.Namun jawaban Daud Beureueh juga
tak berubah. Perdebatan sengit pun kembali terjadi, hingga akhirnya
Abu mengatakan;
“Mulai jinoe, bek ka peugah sapeu le bak lon, kah hana ka
teupeu… (mulai sekarang jangan katakan apapun lagi pada saya, kamu tidak
tahu—apa yang saya ketahui—)….”
Ketika Peristiwa DI/TII Meletus di Aceh
Ketika peristiwa DI/TII meletus di Aceh, seorang utusan Daud Beureueh
datang menjumpainya untuk mengajak bergabung dalam barisan DI/TII. Namun beliau
menolak dengan sebuah ungkapan yang masyhur; “terbangkanlah layang-layang
ketika angin kencang Ungkapan ini bermakna bahwa keputusan Abu Beureu’eh dan
kawan-kawan ketika itu tidak di dukung oleh situasi dan kondisi yang tepat,
tidak akan membuahkan hasil, Namun justru akan menyengsarakan rakyat.
Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee adalah seorang ulama besar
Ahlusunnah wal jama’ah yang menganut Thariqat Haddadiyah, yakni thariqat yang
berpangkal kepada Said Abdullah Ala Hadad. Meski demikian beliau bukanlah
seorang ulama yang tradisional (kolot). Salah seorang murid Tgk Haji Muhammad
Hasan Krueng Kalee adalah ; Tgk Muhammad Daud Beureueh.
Tengku Haji
Muhammad Hasan Krueng Kalee agaknya adalah seorang tokoh ulama yang mampu
mensuri-tauladani sirah Rasul tersebut dengan baik. Selain dikenal sebagai
ulama sufi perkembangan Tarekat al-Haddadiyah di Aceh, ia juga diakui berperan
aktif dalam sejumlah peristiwa politik ulama ini di Aceh sepanjang
hidupnya.Pada masa revolusi kemerdekaan, Tgk Haji Hasan Krueng Kalee ikut aktif
berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, para pemimpin perjuangan
bukan hanya tokoh politik saja, tetapi juga dipelopori oleh ulama.
Para ulama tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan bergabung dalam
suatu organisasi seperti PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Perti (Persatuan
Tarbiyah Islamiyah) dan lain-lain.
Logika Agama dan Ilmu Hakikah
Menelaah secara logika, apa yang disampaikan Tgk Daud Beureueh lewat
pandangannya bersama tokoh-tokoh lain untuk mendukung Aceh tetap bergabung
dengan Republik Indonesia memang tidak dapat disalahkan.Pandangan tersebut
terlihat dari motivasi dan prinsip mashalah yang lebih besar, karena demi
memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara Indonesia yang pada saat itu mati
suri.
Apalagi janji-janji Soekarno masih begitu terpatri dalam setiap ingatan
rakyat Aceh, sehingga sulit dipercaya jika janji itu akan dikhianati dikemudian
hari. Bak seorang negarawan sejati tentu akan mengambil kesimpulan yang sama
dengan Daud Beureueh.
Abu sendiri dalam menilai persoalan ini tetap merujuk pada logika
agama. Namun di sisi lain Abu juga melihat dengan ilmu hakikah atau disebut
ilmu firasat (laduni). Salah satu ilmu yang diberikan Allah SWT kepada para
walinya yang telah mencapai maqam ma’rifah, sehingga sulit bagi awam untuk
mengerti pada awalnya.
Jelas sekali padangan Abu sangat bertolak belakang jika
merujuk apa yang terjadi pada Maklumat Ulama sebelumnya. Namun bagi orang yang
paham sikap dan pola pikir Abu dalam mengambil suatu keputusan, tentu akan
menjadi jelas dan mudah mengerti.
Melihat kondisi awal kemerdekaan, menjadi alasan bahwa mengharamkan
umat Islam keluar dari ketaatan pemimpin jika sudah terpilih atau diakui secara
mayoritas, walaupun pemimpin itu fasiq atau jahat, selama ia tidak mengharamkan
umat untuk mengerjakan salat dan farzu lainnya. Maka menurut pemahaman sunni,
pemimpin itu harus tetap ditaati, walau boleh dibenci.
Lain halnya saat Indonesia pascaagresi militer, di mana Pemerintah RI
sudah lumpuh dan tak bisa lagi berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun demikian
situasi di Bukit Tinggi tak lagi aman. Bahkan Daud Beureueh meminta Presiden
PDRI waktu itu Syafruddin Prawinegara hijrah ke Aceh, sehingga pemerintahan RI
masih dapat dipertahankan.
Oleh karena itu, secara hukum agama, Aceh sudah
memiliki momentum yang tepat dan boleh untuk mengumumkan negaranya sendiri demi
menghindari kevakuman pemimpin dan pemerintahan, di mana kehilangan pemimpin
menurut ajaran agama dan keyakinan Abu sangat dilarang dalam agama, seperti
dalam salah satu riwayat ulama fiqih mengatakan:
“Enam puluh tahun di bawah pemerintahan imam yang jahat lebih baik dari
semalam tanpa pemimpin.”
Jadi, bisa dikatakan, tak ada kontradiksi antara kedua pandangan Abu
dalam hal ini. Sebab pandangan tersebut berada dalam situasi dan kondisi negara
yang sangat berbeda. Berbagai sikap politik Abu untuk mendukung dan lepas dari
RI juga berpijak atas dasar agama dan dalil-dalil seperti ayat Alquran dan
Hadis, Ijma serta kajian terhadap ilmu Fiqh Siyasah. Kini Abu telah tiada,
manusia yang hanya bisa berencana namun takdir Allah untuk menentukan apa yang
berlaku. Wallahua’lam. (Oleh Aulia Fitri, Penulis, salah satu pendiri dan penggiat di
Komunitas Aceh Blogger.Kutipan dari Sosok Abu Krueng Kalee di kancah
Nusantara, Rubrik Fokus Harian Aceh.)
Sumber: Santri Dayah.com, Banda Aceh
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
ReplyDeleteNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut