Saturday, July 27, 2019

Mengejutkan, ini Instruksi Bupati Aceh Besar Berkenaan dengan Larangan Pesawat Beroperasi Saat Lebaran



Bupati Aceh Besar Mawardi Ali, FOTO | kolase Serambinews.com 

BANDA ACEH | Bupati Aceh Besar Mawardi Ali menyurati PT Angkasa Pura II.
Isi surat itu meminta agar maskapai menghentikan penerbangan di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM), Blangbintang, Aceh Besar saat Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha.

Dalam surat tertanggal 24 Juli 2019 yang ditandatangani oleh Bupati Mawardi Ali itu, diminta semua maskapai dapat menghentikan landing maupun take off mulai pukul 00.00 WIB sampai 12.00 WIB.

Aturan akan diterapkan dua sekali dalam setahun, yaitu untuk hari pertama hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Mawardi Ali saat konferensi pers, Jumat (26/7/2019) di kediamannya menyampaikan, terdapat beberapa alasan sehingga ia mengambil kebijakan penghengtian penerbangan selama lebaran.

Secara dasar, kebijakan dilaksanakan demi menghormati syariat Islam di Aceh, khususnya Aceh Besar tempat Bandara SIM berada.

Menurutnya ada beberapa landasan yang memperkuat alasan tersebut yaitu, UU 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh.

Selain itu Qanun Nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariat Islam di bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam, serta UU nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Menurut bupati penghentian penerbangan merupakan jawaban atas keluhan sejumlah pekerja di Bandara SIM yang selama ini tidak libur saat Lebaran.

Sehingga mereka tidak bisa melaksanakan shalat Ied dan berkumpul bersama keluarga di hari yang sakral itu.

Mawardi juga menyebutkan adanya landing dan lepas landas pesawat saat sedang berlangsung shalat Ied sangat menganggu masyarakat di sekitar Bandara SIM.

“Kemarin ada pegawai dari Airlines dan Imigrasi yang menyampaikan kepada Kanwil Kemenkumham, ada pegawai yang sudah delapan tahun sangat kusyuk berpuasa, tapi saat Lebaran tidak bisa shalat Ied, karena sibuk melayani penumpang di Bandara,” ujarnya.
Mawardi menilai penghentian penerbangan selama 12 jam akan memberi manfaat kepada pegawai bandara yang jarang berkumpul dengan keluarga di hari raya.

Politisi PAN ini menilai kebijakannya ini tidak berlebihan, karena sebelumnya Bandara di Bali juga dihentikan penerbangannya selama 24 jam saat umat Hindu merayakan Nyepi.(
Bupati Besar, Ir Mawardi Ali mengeluarkan imbauan tentang penghentian penerbangan saat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha dari dan ke Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang, Aceh Besar.

Imbauan di atas kop surat Bupati Aceh Besar Nomor 451/ /2019 Tanggal 24 Juli 2019/21 Dzulqaidah 1440 H tersebut ditujukan kepada General Manager PT Angkasa Pura II.
Terkait dengan surat tersebut, Media Center Aceh Besar menyebarkan undangan konferensi pers di kediaman Bupati Aceh Besar, Gampong Meunasah Baro, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, Jumat 26 Juli 2019 pukul 16.00 WIB.

Undangan konferensi pers tersebut juga diterima Newsroom Serambi Indonesia.
Pada poin pertama surat Bupati Aceh Besar tentang larangan maskapai penerbangan beroperasi pada Idul Fitri dan Idul Adha disandarkan pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Darah Istimewa Aceh.
Berikutnya sesuai dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksaan Syariat Islam di bidang akidah, ibadah, dan syiar Islam serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

Selain itu, untuk mendukung visi dan misi Bupati Aceh Besar untuk terwujudnya Aceh Besar yang maju, sejahtera, dan bermartabat dalam bingkai syariat Islam.

Berikut ini petikan surat Bupati Aceh Besar, Mawardi Ali:

Sehubungan dengan poin di atas, untuk mewujudkan pelaksanaan syariat Islam dalam segala bidang demi terciptanya lingkungan yang islami di wilayah Aceh Besar, kami mengimbau kepada seluruh maskapai penerbangan yang memasuki wilayah Kabupaten Aceh Besar agar melakukan hal-hal sebagai berikut:

a) Mentaati segala peraturan dan undang-undang syariat Islam yang berlaku di wilayah Aceh secara umum dan Aceh Besar secara khusus;

b) Kepada seluruh maskapai penerbangan yang melakukan take off dan landing di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda Aceh Besar untuk menghentikan penerbangan pada saat hari pertama Idul Fitri dan Idul Adha mulai pukul 00.00 WIB sampai pukul 12.00 WIB.

Kepada seluruh komunitas bandara dan kru pesawat untuk melaksanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha di bandara atau di tempat masing-masing.

c) Kepada semua pihak supaya dapat bekerjasama dan bersinergi dalam mendukung pelaksanaan syariat Islam dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar.

Imbauan yang ditandatangani Bupati Aceh Besar tersebut ditembuskan kepada Gubernur Aceh, Ketua DPR Aceh, Kapolda Aceh, Kanwil Kemenkum HAM Aceh, Dinas Syariat Islam Aceh, Ketua DPRK Aceh Besar, Kadis Syariat Islam Aceh Besar, Kadis Perhubungan Aceh Besar, Kasatpol PP dan WH Aceh Besar, Kakan Kemenag Aceh Besar, seluruh maskapai penerbangan, dan Air Nav.

Pramugari Wajib Berhijab

Sebelumnya, melalui surat 18 Januari 2018, Bupati Aceh Besar Mawardi Ali juga menyerukan kepada seluruh general manajer maskapai penerbangan yang melayani rute Aceh untuk mewajibkan pramugarinya berhijab.

Surat tersebut juga tak kurang memantik pro-kontra dari berbagai kalangan.

Seperti diberitakan sebelumnya, Bupati Aceh Besar, Ir Mawardi Ali, mengeluarkan sebuah surat penting, tertanggal 18 Januari 2018.

Surat itu, berisikan aturan wajib berpakaian muslimah bagi pramugari semua maskapai yang mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blangbintang, Aceh Besar.

Surat yang ditandatangani Bupati Mawardi Ali itu, ditujukan kepada pimpinan delapan maskapai yang melayani rute Aceh.

Antara lain surat ditujukan kepada GM Garuda Indonesia, Lion Air, Batik Air, Citilink, Sriwijaya Air, Wings Air, AirAsia, dan Firefly.

Dalam surat dengan nomor 451/65/2018 itu disebutkan, semua pramugari diwajibkan untuk berpakaian muslimah, jika mendarat di Bandara SIM Blangbintang.

“Kepada semua pramugari diwajibkan mengenakan jilbab/busana muslimah yang sesuai dengan aturan Syariat Islam," demikian bunyi salah satu point penekanan dalam surat tersebut.

Berikut bunyi petikan surat yang juga ditembuskan ke beberapa pihak, seperti Gubernur Aceh, Ketua DPR Aceh, GM PT Angkasa Pura II di Blang Bintang, Kadis Syariat Islam Aceh, dan sebagainya.

"Bahwa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh,"

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk mensinergikan sekaligus dukungan serta kerja sama untuk mencegah segala tindakan yang tidak sesuai dengan syariat Islam, adat istiadat, dan etika masyarakat Aceh. Oleh karena itu, dimintakan kepada seluruh maskapai penerbangan yang memasuki wilayah Kabupaten Aceh Besar agar melakukan hal-hal sebagai berikut,"

a) Mentaati segala Peraturan dan Undang-Undang syariat Islam yang berlaku di wilayah Aceh secara umum dan Aceh Besar secara Khusus;

b) Kepada Pramugari diwajibkan mengenakan jilbab/ busana muslimah yang sesuai dengan aturan Syariat Islam;

c) Kepada semua pihak supaya dapat bekerjasama dan mendukung pelaksanaan Syariat Islam di wilayah Kabupaten Aceh Besar,

Demikian surat ini disampaikan untuk dipedomani dan diindahkan.
Surat Bupati Aceh Besar ini langsung viral di dunia maya dan mendapat sambutan luas masyarakat Aceh.

Beberapa hari sebelum surat Bupati Aceh Besar ini beredar, salah satu tokoh Aceh, Ahmad Farhan Hamid, menulis panjang lebar tentang jilbab untuk pramugari ini di dinding Facebooknya.

Berikut tulisan Ahmad Farhan Hamid yang dipublikasikan untuk publik di dinding Facebooknya, 9 Januari pukul 07.48 WIB.

Menyertai tulisannya, Farhan juga memosting sebuah foto yang memperlihatkan seorang pramugari berjilbab sedang melayani penumpang pesawat.

"Pagi tadi dalam penerbangan ke Aceh dgn Batik Air, saya mendapati seluruh pramugarinya memakai hijab. Saya ingat-ingat, rasanya dalam penebangan tahun lalu, tidak demikian.

Ada rasa bahagia, pikiran awal saya ini kebijakan perusahaan untuk menghormati penerapan syariat Islam di Aceh.

Pikiran saya bergerak ke masa lalu. Pemberontakan DI/TII Aceh tahun 1953-1961 salah satu (bukan satu-satunya) penyebabnya karena Soekarno ingkar janji. Sempat berjanji kepada Dawud Beureu-Eh, Aceh diberi peluang menerapkan syariat Islam sesudah Indonesia sepenuhnya merdeka. Janji itu diucapkan di awal kemerdekaan, saat Soekarno berkunjung ke Aceh. Korban perang tak terkira.

Perdamaian (Ikrar Lam Teh) melahirkan Daerah Istimewa Aceh, istimewa bidang agama, pendidikan, dan adat-istiadat. (Mungkin) pikiran pemimpin Aceh dan tokoh masyarakat saat itu, inilah ruang menerapkan syariat Islam. Ternyata tak pernah terjadi, semua usaha gagal. Jakarta menolak.

Gerakan Aceh Merdeka, 1976, sebenarnya sebuah upaya melahirkan (kembali) Aceh sebagai satu bangsa dan ingin mewujudkan kedaulatan negara Aceh. Bagi sebagian besar pengikut GAM, terutama generasi yang pernah terlibat dan tahu DII/TII Aceh, keinginan menerapkan syariat Islam di Aceh, adalah bahan bakar yang mendorong mereka terlibat dalam gerakan yang diinisiasi oleh Allahyarham Teungku Hasan Muhammad di Tiro.

Reformasi 1998 melumat habis kekuasaan diktator Soeharto.

Saya ingat almarhum Drs. Kaoy Syah, MA., salah satu anggota DPR RI hasil Pemilu tahun 1997, periode DPR RI masa itulah lahir UU 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh. 

Posisi legal Syariat Islam di Aceh mulai mendapat ruangnya. Tetapi pasal-pasal dalam UU tersebut tidak mudah diterapkan.

Sesudah Reformasi, muncul ide melahirkan Otonomi Khusus untuk Aceh. Selain TAP MPR, lalu dibentuk UU 18 Tahun 2001. Dalam UU ini aplikasi syariat Islam di perjelas, namun tetap kurang rinci. Lahirlah Mahkamah Syar’iyah.

Penerapan syariat Islam dilaksanakan. Muncullah “kehebohan” akibat operasi hijab di jalan, operasi celana ketat perempuan, pelaksanaan hukuman cambuk, dan lain-lain. Bisa dimaklumi, kita semua sedang belajar.

Kini, disadari atau tidak, syariat Islam di Aceh di hormati banyak kalangan, karenanya teruslah berikhtiar agar Aceh menjadi tauladan, jangan patah semangat karena sindiran kritis, termasuk dari awak droe.

Salah satu buah perjuangan Allahyarham Teungku Hasan Muhammad di Tiro adalah orang Aceh sekarang sudah berani dan tegas mengatakan dirinya BANGSA ACEH. Tidak usah khawatir tentang ke Indonesiaan. Saya teringat salah satu vidio ustaz Abdul Somad dari Riau itu, kekuasaan adalah “jalan” terbaik melakukan amar makruf-nahi mungkar. Lahirnya UU yang di dalamnya mengandung Pasal tentang syariat Islam itu karena “kekuasaan” yang di amanah kan pada orang yang memikirkan hal tersebut.

Kembali ke pramugari yang berjilbab tadi, saya tanya “berjilbab ini karena penerbangan ke Aceh?”, “Ya” jawabnya. Rasanya baru ya?

Benar pak, baru mulai tanggal 5 kemarin, jelasnya. Saya melanjutkan, apakah ini kebijakan perusahaan?

Bukan pak, bukan inisiatif perusahaan. Tetapi merespon permintaan pemerintah Aceh. Perusahaan menerima surat-el (email) dari pemerintah Aceh.

Begitulah perubahan dapat dilakukan dengan kekuasaan. Seperti juga bangsa lain, jika bangsa Aceh teguh dengan sesuatu (yang baik), tetap akan dihormati oleh pihak lain."


Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Ini Fakta di Balik Instruksi Bupati Aceh Besar Soal Larangan Pesawat Beroperasi Saat Lebaran.

No comments:
Write komentar

Tinggalkan Komentar!