ACEH SELATAN merupakan salah satu kabupaten di provinsi Aceh. Kabupatenn ini berpusat kota di Tapaktuan. Keunikan Aceh Selatan adalah dihuni oleh 3 etnis suku bangsa, diantaranya suku Aceh, suku Aneuk Jamee dan suku Kluet.
Dari sekian banyaknya peradaban sejarah
di Aceh, tak ketinggalan di wilayah pantai barat selatan Aceh ini juga banyak
meninggalkan situs sejarah yang sepatutnya mesti dijaga dan lestarikan. Lantas
apa sajakah peninggalan bersejarah yang ada di kabupaten Aceh Selatan? Berikut
uraiannya.
Meriam
Kerajaan Meukek
Meriam peninggalan sejarah pada masa
Kerajaan Meukek. Menurut tulisan Paul Van’t Veer dalam bukunya De Atjeh
Oorlog menyebutkan, meriam tersebut dikirim oleh Sultan Turki sekira tahun 1864
Masehi bersamaan dengan 10 meriam Raja Kerajaan Tapaktuan.
Lima meriam untuk Raja Meukek dan 10
meriam lagi untuk Raja Tapaktuan, sewaktu perang di depan Krueng Sirullah pecah
antara Belanda dengan rakyat Aceh Selatan, meriam ini sempat dibawa oleh rakyat
Meukek dengan perahu layar pembawa kopra menuju pelabuhan Cerocok – Gosong
Pakak Tapaktuan pada tahun 1874. Ketika itu kota Tapaktuan sempat dihujani
peluru dari laut.
Atas serangan Belanda tersebut, pejuang
dari Meukek, Labuhanhaji dan Tapaktuan lantas membalas perlawanan perlawanan
terhadapa dengan meriam buatan Kerajaan Turki. Pertempuran hebat dan sengit itu
terjadi pada 5 Mei 1874, ketika bendera Belanda dikibarkan di Tapaktuan.
Al-Qur’an
Gadang
Al-Qur’an Gadang terdapat di Desa
Kampung Dalam Kecamatan Labuhanhaji, Aceh Selatan. Al-Qur’an Gadang ditulis
oleh seorang yang berasal dari Pariaman Minangkabau yang bernama Datuk Sultan
Palaci. Al-Qur’an itu ditulis sepulang dari Mekah selama 2 tahun 2 bulan dan 2
hari dengan tangannya sendiri.
Setiap Al Quran itu ditulis ia selalu
dalam keadaan berwudhuk. Beliau menulis setiap selesai shalat tahajjud hingga
fajar. Beliau mulai menulis musaf Al-Qur’an itu pada subuh Juma’t pada tanggal
8 Agustus 1937 dan selesai ditulis pada tanggal 8 Agustus 1939 juga di Subuh
Jumat.
Dahulu dan hingga sekarang Al-Qur’an ini
sering dijadikan tempat bersumpah saat orang berperkara (bersengketa). Biasanya
terbukti jika orang yang bersengketa itu berbohong.
Mesjid
Tuo Pulo Kambing
Mesjid Tuo Pulo Kambing terletak di Desa
Pulo Kambing Kecamatan Kluet Utara. Berbagai referensi menyebutkan masjid ini
berumur ratusan tahun atau 9 abad. Masjid Tuo Pulo Kambing ini dibangun tepatnya
pada tgl 8 Agustus 1351 Masehi oleh seorang Ulama yang bernama Syech Muhammad
Husin Al-Fanjari Bin Muhammad Al-fajri Kautsar, murid dari seorang ulama Sufi
yang datang dari Persia.
Benteng
Trumon
Benteng Trumon berada di Desa Keude
Trumon Kecamatan Trumon. Benteng tersebut dibangun pada tanggal 11 Agustus 1770
sampai dengan tanggal 8 Agustus 1802 pada masa pemerintahan Teuku Raja Jakfar
dan diteruskan oleh anaknya Teuku Raja Bujang pada masa itu di dalam benteng
itu ada tempat percetakan uang kerajaan Trumon sendiri.
Pertama uang dicetak di Portugal,
Lisabon, kemudian ditiru dicetak di Trumon menjadi uang Trumon atas seizin
Kerajaan Portugal dan uang tersebut menjadi uang Trumon. Asal usul Kota Trumon
berasal dari Trung Binah Mon. Selanjutnya benteng tersebut dijaga oleh saudara
Teuku Raja Ubit sampai turun temurun. Kerajaan Trumon ini juga merupakan daerah
otonom kehulubangan Kesultanan Aceh Darussalam yang mendapat stempel cap
Sikureueng.
Makam Tengku Peulumat terletak di Desa
Betong Peulumat Kecamatan Labuhanhaji Timur. Tengku Peulumat bernama lengkap
Teungku Syekh Abdul Karim, beliau lahir pada tanggal 8 Agustus 1873 di Kota
Baru Sungai Tarap Batu Sangkar Minangkabau Sumatera Barat, sejak kecil sampai
dewasa Tengku Peulumat berada di kampungnya, setelah dewasa merantau ke Aceh
dan menetap di Peulumat, beliau kawin dan berumah tangga di Peulumat. Di
Peulumat beliau belajar dan memperdalam ilmu agama di Pondok Pesantren
Darussalam Labuhanhaji yang kemudian pesantren ini dipimpin oleh keponakan
beliau yang bernama Syech Tengku Muda Wali Al Chalidy.
Beliau belajar syariat, hakikat dan
makrifat. Karena Tengku Peulumat sangat menggandrungi ilmu Tasauf, beliau hidup
dengan ajaran sufi yaitu kaum yang hidup warak dan khana’ah yang tidak cinta
dunia. Karena kesucian dan kebeningan jiwa Tgk. Peulumat menjadi seorang wali
atau Aulia Allah. Banyak hal-hal yang diluar logika terjadi pada diri Tengku
Peulumat seperti: beliau bisa menghilang dan berjalan di atas air dan shalat
Jumat ke Masjidil Haram dalam waktu singkat dan bisa kembali ke Peulumat.
Sebagaimana cerita yang sudah populer di
masyarakat Aceh Selatan bahwa pada suatu hari Tengku Peulumat pergi ke pajak
ikan membeli ikan. Dalam perjalan pulang tiba-tiba ia ditegur seorang anak
yatim, karena mendapat teguran itu, lantas ikan itu diberikannya kepada anak
tersebut. Hal itu sempat dilihat oleh isterinya sambil marah kepada Tengku
Peulumat. Tapi dengan tenang Tgk. Peulumat mengatakan bahwa ganti ikan itu
sudah ada tergantung di dekat tungku dapur yaitu seekor ikan laut sebesar betis
yang masih segar dan masih hidup.
Tengku Peulumat meninggal pada tanggal 8
Agustus 1943. Saat jenazahnya dimasukkan ke dalam kubur dan ketika ikat kain
kapan bagian lehernya dibuka, kerenda Tgk. Syech Abdul Karim ternyata kosong –
jasad Tengku Peulumat raib. Dikabarkan jenajah orang suci – Aulia Allah yang
juga oleh masyarakat dijuluki dengan Aulia Allah diangkat dan diusung para
Malaikat ke alam Malakut.
Rumah
Adat Kluet (Rungko)
Rumah Adat Kluet (Rungko) ini terletak
di Desa Koto (Manggamat) Kluet Tengah. Rumah adat Kluet ini dibangun pada 1
Januari 1861 oleh Raja Menggamat Imam Hasbiyallah Muhammad Teuku Nyak Koto.
Belaiau adalah keturunan pejuang Kluet
Tgk. Imam Sabil yang pernah berperang melawan Belanda dalam Perang Lawe Melang
Menggamat. Rumah Adat Kluet (Rungko) ini, bukan saja difungsikan sebagai tempat
tinggal raja, akan tetapi juga berfungsi sebagai tempat untuk menyelesaikan
perkara yang terjadi dalam kehidupan rakyat di kemukiman Manggamat.
Makam
Teuku Raja Angkasah
Makam Teuku Raja Angkasah terletak di
pinggir Sungai Dayah, Desa Buket Gadeng, kira-kira 8 KM dari Keude Bakongan,
Ibu kota Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan.
Teuku Raja Angkasah adalah pahlawan yang
gagah berani yang gugur di medan perang melawan marsose Belanda. Tempat
gugurnya Teuku Raja Angkasah sekitar 5 kilometer dari kawasan hutan Buket
Gadeng yang ditembak pasukan Belanda dari empat arah.
Belanda menjuluki Teuku Raja Angkasah
dengan Harimau Sumatera, sebagai salah satu bukti keberanian dan keperkasaan
Raja Bakongan ini. Beliau gugur pasa tahun 1925.
6. Makam
Syekh Muda Waly Al Khalidy
Makam Syekh Muda Waly Al Khalidy
terletak di Desa Blang Dalam Kecamatan Labuhanhaji Barat. Syekh Muda Waly Al
khalidy dilahirkan di Desa Blang Poroh, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh
Selatan pada tanggal 8 Agustus 1917. Beliau adalah putra bungsu dari Sheikh H.
Muhammad Salim bin Malin Palito. Ayah beliau berasal dari Batu Sangkar, Sumatra
Barat.
Beliau datang ke Aceh Selatan selaku
da’i. Sebelumnya paman beliau yang masyhur dipanggil masyarakat Labuhan Haji
dengan Tuanku Peulumat yang nama aslinya Sheikh Abdul Karim telah lebih dahulu
menetap di Labuhan Haji.
Tgk. Syekh Muda Waly Al Khalidy merupakan
gurunya para ulama di Aceh. Beliau adalah seorang Ulama besar yang memimpin Dayah/Pesantren
Darussalam di Blang Poroh Kecamatan Labuhanhaji Barat. Beliau wafat pada tahun
1961.
Bupaleh
Bupaleh terletak di Desa Kuala Ba’u.
Bupaleh berasal dari bahasa Arab Bupalatul, tempat berhujah ulama dalam mencari
suatu kebenaran berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Kegiatan itu
dilaksanakan mulai tahun 1940. Sebelumnya pada tahun 1888 di kawasan itu juga
digunakan sebagai tempat bermusyawarah para ulama keturunan Said yang
mengembangkan Agama Islam di Aceh, salah seorang keturunan Said yang berjasa
mengembangkan agama Islam di Aceh Selatan ialah Alm. Drs. H. Sayed Mudhahar
Ahmad, Msi. mantan Bupati Aceh Selatan. Disebutkan juga di lokasi Bupaleh ini
adalah tempat pertama sekali Tengku Syekh Muda Wali mengajarkan Al-Qur’an
(belajar mengaji) kepada anak sulungnya Abuya Djamaludin Wali.
10.
Makam Panglima Rajo Lelo
Makam Raja Lelo terletak di Desa Sapik
Kecamatan Kluet Timur. Rajo Lelo bernama asli Banta Saidi yang lahir 1 Agustus
1780 di Kluet Timur. Beliau adalah pengikut atau pasukan berani mati Teuku Cut
Ali. Ia dikejar marsose Belanda dibawah pimpinan Kapten J. Paris.
Di kawasan desa Sapik Kecamatan Kluet
Timur inilah terjadi pertempuran sengit. Dalam peperangan ini, 19 orang pasukan
Panglima Raja Lelo gugur. Serangan ini juga melukai 12 orang tentara marsose
dan berhasil menawan Belanda.
Pertempuran seru terjadi ketika Banta
Saidi atau Panglima Rajo Lelo berhadapan dengan Kapten J. Paris dengan
pertarungan tangan kosong. Keduanya sama-sama memiliki ilmu kekebalan.
Saat itu puluhan butir peluru yang
menerjang tubuh Rajo Lelo tidak mampu melukai tubuhnya. Demikian juga
sebaliknya. Puluhan kali Rajo Lelo menebaskan pedangnya ke tubuh Kapten J. Paris,
namun tidak mampu melukai tubuh Kapten J. Paris karena orang Belanda ini juga
memiliki ilmu kebathinan.
Panglima Rajo Lelo dan Kapten Paris
beradu gulat. Pertarungan sangat sengit dan seru, dan saling banting, saling
pukul dan saling terjang. Karena tingkat kesaktian Panglima Rajo Lelo lebih
tinggi daripada Kapten J. Paris, akhirnya Raja Lelo berhasil menemukan
kelemahan kesaktian Kapten Paris. Panglima Raja Lelo segera memagut tubuh
Kapten Paris, sambil memegang dan memutar alat vital Kapten Paris. Saat itu
juga kapten yang kebal dan sakti ini tewas.
Gambaran kejadian yang menciutkan nyali
pasukan marsose dalam perang Kelulum itu dapat diungkapkan dalam bait syair
Aceh sebagai berikut:
Prang
Bakongan seuhu hana kri Kaphe neu tadi keunong bak jungka Matee Angkasah
tinggay Cut Ali Prang teu-jali leubeh nubura
Peudeung
neu-gunci su meudeungong Han jitem tamong meuhana bila Kapten Paris putoo taloy
nyawong Sakti Limong Raja Lela.
Lima bulan kemudian setelah terbunuhnya
Kapten J. Paris, Panglima Raja Lelo jatuh sakit, ia dilarikan ke Suak Bakong
untuk dirawat, karena kondisi Suak Bakong masih dijaga ketat pasukan Belanda,
malam itu Banta Saidi kembali dibawa ke Kampung Sapik. Malam Jumat tanggal 8
Agustus 1926 Banta Saidi atau Panglima Raja Lelo menghembuskan nafasnya yang
terakhir. Jenazahnya dikebumikan di samping kuburan para pasukannya yang gugur
terdahulu yaitu di lokasi terjadinya Perang Kelulum Desa Sapik – Kluet Timur,
Aceh Selatan.
Makam
Teuku Cut Ali
Makam Teuku Cut Ali terletak di Desa
Suak Bakong, Kluet Selatan. Setelah Teuku Raja Angkasah gugur perlawanan
diteruskan oleh Teuku Cut Ali. Teuku Cut Ali lahir pada tanggal 1 Agustus 1867
di Trumon. Ia berjuang menentang Belanda secara gerilya atau berpindah tempat
dengan membawa para pengikutnya. Pada tanggal 1 Agustus 1927 terjadilah perang
Teuku Cut Ali melawan pasukan Belanda. Menurut penuturan Panglima Untung
(Panglima Uleebalang Keujrun Kluet) saksi hidup Teuku Cut Ali gugur di Alue
Bebrang Lawe Sawah Kecamatan Kluet Timur, Aceh Selatan. Pasukan Belanda waktu
itu dipimpin oleh Kapten G.F.V. Gosenson perang sengit terjadi di bawah lereng
jurang di Alue Beebrang Lawe sawah. Dalam adu tembak itu, isteri Teuku Cut Ali
yang bernama Fatimah yang sedang hamil itu tertembak peluru Belanda. Melihat
kejadian itu, Teuku Cut Ali Marah dan langsung maju menghadang melawan pasukan
Belanda, dalam saling adu tembak Teuku Cut Ali Akhirnya tewas bersama
pengikutnya.
Setelah Teuku Cut Ali gugur, Belanda memotong
Kepala Teuku Cut Ali, Belanda membawa potongan kepala itu ke Suak Bakong untuk
di arak dan dipertontonkan kepada warga Suak Bakong, sorenya (1 Agustus 1927)
potongan kepala itu dikebumikan di pinggir sungai Kandang Suak Bakong.
Sedangkan badannya dikebumikan pedalaman pegunungan Kluet Timur.
Mesjid
Tuo Kampung Padang
Mesjid Tuo Kampung Padang terletak di
Gampong Padang Tapaktuan, Aceh Selatan. Mesjid Tuo Kampung Padang ini dibangun
pada tanggal 10 Agustus 1108 Masehi oleh Syech Al-Jazirazi Farsyiah Bin Ibnu
Mansyur dalam bentuk pondok kecil berlantai papan.
Kemudian pada tahun 1115 mesjid ini
direhabilitasi oleh muridnya Tengku Muhammad Chalidy bin Fasaman. Kemudian pada
tahun 1351 Masehi kembali direhabilitasi oleh seorang ulama yang bernama Tengku
H. Abdul Manan bin Muhammad Sutan Pariaman.
Dari dulu sebelum masuknya penjajahan
Belanda, mesjid ini tempat belajar membaca Al-Qur’an dan tempat
menyelenggarakan shalat Jumat dan memperingati hari-hari besar Islam seperti
Israk Mikraj, 1 Muharram dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Keanehan dan kelebihan
Mesjid Tuo ini, di depannya terdapat Makam Tuan Tapa, orang keramat yang
membunuh Naga.
Setiap memperingati Maulid Nabi, dari
permukaan makam Tuan Tapa ini keluar dengan sendirinya talam, piring, mangkok,
gelas dan sendok serta perkakas dapur lainnya secara gaib. Kemudian semua benda
itu ditaruh kembali setelah digunakan, dan pada tengah malam menurut saksi mata
semua benda itu masuk dan hilang kembali ke dalam Makam Tuan Tapa. Menurut
penuturan sejarah pada tahun 1938 sampai 1943 Masehi sangat sering Tengku
Peulumat datang shalat Dzuhur dan Ashar ke mesjid ini bahkan dikatakan juga
Tengku Peulumat yang keramat ini sering tidur siang di mesjid menunggu waktu
shalat Ashar. Pada suatu saat Tengku Peulumat sedang tidur, beberapa murid yang
sedang belajar mengaji bertanya kepada Tengku Peulumat: “Kenapa Anduang tidur
bergelung dan menekukkan lutut seperti orang kedinginan?” Lantas orang suci dan
keramat ini menjawab: “Jika kedua kaki ini aku ulurkan kena tepi langit.”
Kemudian pada hari yang lain, saat
shalat Ashar tiba-tiba Tengku Peulumat, Paman dari Tgk. Syekh Muda Waly Al
Khalidy ini tiba di depan pekarangan Mesjid Tuo dalam keadaan basah kehujanan.
Salah seorang jamaah bertanya kepadanya: “Bagaimana Tuanku shalat basah seperti
itu?” Lantas Aulia Allah ini membuka bajunya lalu dikibaskannya beberapa kali
sehingga semua pakaian yang lagi basah ditubuhnya itu kering seperti baru
diangkat dari jemuran.
Makam
Tuan Tapa
Makam Tuan Tapa terdapat di Gampong
Padang Kecamatan Tapaktuan, di depan Mesjid Tuo. Dalam pertarungan antara Tuan
Tapa dengan dua ekor Naga karena memperebutkan Putroe Bungsu, akhirnya Tuan
Tapa berhasil mengalahkan kedua naga tersebut. Sang Putri pun dapat kembali
bersama orang tuanya, tetapi keluarga itu tidak kembali ke Kerajaan Asralanoka,
tetapi mereka memilih menetap di Aceh. Keberadaan mereka di Tanah Aceh diyakini
sebagai cikal bakal masyarakat Tapaktuan.
Setelah kejadian itu, Tuan Tapa sakit.
Seminggu kemudian Tuan Tapa meninggal dunia pada Bulan Ramadhan Tahun 4
Hijriyah. Jasadnya dikuburkan di dekat Gunung Lampu, tepatnya di depan Mesjid
Tuo Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan, dan hingga sekarang makam manusia
keramat itu masih bisa kita saksikan. Makam Tuan Tapa itu sudah pernah
mengalami beberapa kali pemugaran semasa Pemerintahan Belanda.
Makam Tuan Tapa yang terdapat di
Kelurahan Padang, Tapaktuan ini kerap dikunjungi turis lokal maupun turis mancanegara.
Pada tahun 2003 dalam acara silaturrahmi Susilo Bambang Yudhotono (SBY) dengan
masyarakat Tapaktuan, SBY yang sekarang Presiden Republik Indonesia itu pernah
ziarah ke Makam Tuan Tapa yang waktu itu didampingi Gubernur NAD Ir. H.
Abdullah Puteh, Bupati Aceh Selatan Ir. H. T. Machsalmina Ali, MM, Darul Qutni
Ch Kepala Biro Surat Kabar Ekspos dan pemuka masyarakat setempat Nasiruddin
Gani.
No comments:
Write komentarTinggalkan Komentar!