ABUYA JAILANI KOTA FAJAR merupakan murid Syekh Muda Waly
al-Khalidy generasi awal, letingnya Abu Adnan Mahmud Bakongan. Abuya Jailani
Kota Fajar lahir di Kecamatan Kluet Utara, Kabupaten Aceh Selatan pada tahun
1910 dan berkiprah secara luas di Kota Fajar dengan mendirikan lembaga
pendidikannya yang dikenal dengan Dayah Darussa'adah, sehingga beliau dikenal
oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Abu Kota Fajar.
Mengawali masa belajarnya beliau belajar langsung kepada orang tuanya mengenai dasar-dasar ilmu agama. Menginjak usia remajanya beliau mulai belajar di berbagai lembaga pendidikan kepada sejumlah ulama terpandang di wilayahnya.
Beliau disebutkan pernah belajar kepada
ulama yang berasal dari Siem Aceh Besar, yang diutus oleh Tuanku Raja Keumala
dan Abu Kruengkalee yaitu Abu Muhammad Ali Lampisang. Abu Muhammad Ali tiba di
Labuhan Haji sekitar tahun 1921 dan membuka Madrasah Khairiyah sampai tahun
1930, banyak lulusan Madrasah Khairiyah yang kemudian menjadi ulama Aceh
sesudahnya seperti Abuya Syekh Muda Waly al-Khalidy, Abu Adnan Mahmud Bakongan,
Abu Haji Bilal Yatim dan termasuk pula Abuya Jailani Kota Fajar.
Setelah beberapa tahun di Madrasahnya
Abu Ali Lampisang, Abuya Jailani Kota Fajar kemudian melanjutkan pendalaman
keilmuannya kepada ulama asal Lhoknga yaitu Abu Syech Mud Blangpidie yang merupakan
pendiri Dayah Bustanul Huda Blangpidie. Abu Syech Mud juga ulama yang tiba di
Blangpidie atas permintaan Ulee Balang Kuta Batee (nama lain Blangpidie) pada
tahun 1927 setelah meletusnya perang antara Teungku Peukan dan Belanda pada
tahun 1926.
Kehadiran Abu Syech Mud Blangpidie
memiliki arti penting mengingat beliau adalah salah satu syaikul masyayikh
ulama Aceh Periode Awal. Banyak muridnya yang juga menjadi ulama-ulama kenamaan
di Aceh di antaranya adalah: Abuya Syekh Muda Waly, Abu Muhammad Arsyad atau
dikenal dengan Abu Calang, Abuya Haji Abdul Hamid Kamal, Abu Adnan Mahmud,
Abuya Jailani Kota Fajar, Syekh Muhammad Yatim Suak, Teungku Din Affany
Samatiga, Abu Imam Syamsuddin Sangkalan, Abu Haji A.Ghafar Lhoknga dan banyak
ulama lainnya.
Di Dayah Bustanul Huda yang didirikan
oleh Abu Syech Mud inilah Abuya Jailani Kota Fajar bertekun belajar hingga
menjadi seorang ulama yang mendalam ilmunya. Bahkan beliau merupakan salah satu
alumni terbaik dari lembaga pendidikan tersebut.
Disebutkan dari sebuah sumber, setelah
menjadi alim, Abuya Jailani Kota Fajar suatu saat berjumpa dengan seorang ulama
muda yang baru kembali dari pengajian Padang dan telah masyhur kedalaman
ilmunya yaitu Angku Mudo Syekh Muhammad Waly al-Khalidy. Sehingga terjadilah
perdebatan ilmiyah tingkat tinggi antara kedua ulama ini dimana perdebatan
tersebut memiliki syarat "siapa yang menang, maka akan menjadi guru bagi
yang kalah berdebat". Satu persatu pertanyaan dimunculkan, sehingga sampai
pada sebuah pertanyaan yang Abuya Jailani terdiam, tidak bisa menjawabnya.
Namun Syekh Muda Waly al-Khalidy mampu
menjelaskan jawaban dengan mudah. Semenjak hari itu dan sampai seterusnya Abuya
Jailani mengakui kedalaman ilmu Syekh Muda Waly dan menjadi muridnya. Di
Darussalam Labuhan Haji Abuya Jailani Kota Fajar mematangkan keilmuannya
sehingga menjadi seorang ulama yang alim bijaksana. Bahkan beliau dan Abu Adnan
Bakongan diangkat menjadi Mursyid dalam Tarekat Naqsyabandiyah tanpa perlu
tauliyah karena keilmuan dan kelayakan yang beliau miliki.
Setelah menamatkan pendidikan terakhir
di Darussalam Labuhan Haji, Abuya Syech Jailani Kota Fajar kemudian pulang ke
kampung halamannya ke Wilayah Kluet Kabupaten Aceh Selatan, dan membangun
sebuah Dayah di desa Pasie Kuala Ba’U kecamatan Kluet Utara yang diberi nama
dayah Bustanuddin Kuala Ba’U tepatnya dikomplek pemakaman para keturunan Habaib
di Kuala Ba’U.
Kemudian dayah ini dipindahkan ke desa Kota Fajar Kluet Utara dengan nama baru yaitu Dayah Darussa'adah pada tahun 1957, dimana usia beliau ketika itu sekitar 47 tahun.
Terhitung mulai dari tahun 1957 sampai wafatnya beliau tahun 1983, Abuya Syech Jailani Kota Fajar telah menjadi guru masyarakat mursyid yang mengayomi seluruh santri dan masyarakat Kluet Utara dan sekitarnya. Bahkan banyak dari murid-murid lulusan Darussa'adah yang menjadi ulama kharismatik Aceh seperti Abu Daud al Yusufi Teupin Gajah dan Abu Muhammad Yunus Thaiby dan para ulama lainnya.
Bahkan ditahun 1978 beliau mengangkat
Abu Muhammad Hasbi Kota Fajar yang dikenal dengan Abon Kota Fajar sebagai wakil
pimpinan yang beliau pimpin.
Baca Juga : Abu Daud Teupin Gajah, Sosok Ulama Tak Kenal Lelah Dalam Membimbing Umat
Abon Hasbi Kota Fajar sendiri sebelumnya
sekitar 7 tahun mengabdi sebagai wakil pimpinan Ashabul Yamin yang dipimpin
oleh Abu Haji Adnan Mahmud Bakongan yang juga sahabat dekat Abuya Jailani Kota
Fajar. Selain berhasil mendidik para muridnya menjadi ulama, Abuya Kota Fajar
juga telah menempa anak-anaknya untuk melanjutkan estafet kepemimpinan Dayah
yaitu Teungku Syekh A.Qadir pimpinan Darussa'adah setelah Abon Hasbi Kota Fajar
dan anaknya dari istri yang lain Teungku Syekh Jazuli Jailani yang dikenal
dengan Abu Cut, dengan Dayahnya Raudhatus Sa'adah. Abuya Syech Jailani Kota
Fajar merupakan tokoh kharismatik pengemban Tarekat Naqsyabandiyah di wilayah
Kluet Aceh Selatan, sehingga Tarekat ini tersebar luas disana, sama seperti di
Bakongan Tarekat Naqsyabandiyah tersebar luas dibawah asuhan Mursyid Syech Haji
Adnan Mahmud Bakongan atau Abu Bakongan.
Setelah berkiprah sekitar 26 tahun
mengabdi dan menjadi rujukan masyarakat Kluet Aceh Selatan wafatlah ulama kharismatik
ini di tahun 1983 dalam usia 73 tahun. Rahimahullah Rahmatan Wasi'atan.
No comments:
Write komentarTinggalkan Komentar!