Sukee lhee bak aneuek
drang, Sukee ja sandang jeura
haleuba,
Sukee tok bate na
bacut-bacut, Sukee imuem pheuet
nyang gok-gok donya,
Itulah sekilas bait singkat dari lagu Rafly Kanda seorang
seniman Aceh yang sekarang sudah menjadi Senator Aceh di Jakarta pusat, dan
pada pemilu 2019 ini mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPR RI periode
2019-2024. Dari syair lagu tersebut banyak menjadi teka-teki apa maksudnya. Setelah
ditelusuri maksud dari kalimat syair tersebut adalah mengisahkan tentang asal
usul keturunan Aceh kala itu.
Jika dimakanai ‘Sukee
Lhee Reuthoh’ it berarrti ‘kaum Tiga Ratus’. ‘Sukee
lhee bak aneuek drang’ bila diartikan ‘Kaum Tiga Ratus sebagai biji drang’,
sejenis kacang tanah yang tumbuh habis musim panen padi; segala jerami mati
kemudian akan tumbuh sendiri pohon drang dengan subur.
‘Sukee ja sandang
jeura haleuba’ apabila diartikan kaum Ja sandang sebagai Jeura Haleuba
(biji kelabat) berwarna kuning. Biji ini biasanya digunakan sebagai campuran
untuk menghilangkan bau hanyir. Biji tersebut lebih besar sedikit dari drang. Kaum ja batee ataupun juga disebut Tok Bate bacut-bacut, merupakan hanya
sedikit. Sedangkan Imum Pheuet itu
bermakna megguncang dunia tak lain itu
maksudnya adalah sangat berpengaruh besar dan peranan penting mereka dalam
pemerintah kala itu.
Orang Aceh tempo dulu (photo auliaputri) |
Tersebutlah asal mula sebutan Lhee Reuthoh atau Tiga Ratus,
Menurut sebuah cerita, pada suatu masa terjadilah sengketa berat antara
kelompok rakyat asli sekitar tiga ratus orang lah kira-kira, dengan kelompok
pendatang Hindu sekitar empat ratus orang. Karena persengketaan tersebut hampir
saja berujung ke bentrokan bersenjata antara dua kubu tersebut yang disebabkan
oleh kasus perzinahan. Akan tetapi, saat ketika hebatnya kekacauan tersebut,
datanglah seorang penengah untuk meleraikan atau memberi jalan damai dari
sengketa yang sedang terjadi.
Singkat cerita, mereka yang bersalah dapat juga menerima
keputusan, akhirnya kesalahan mereka dapat juga dimaafkan dan kedua bela pihak
kemudia membuat satu ikatan silaturrahmi dengan saling akrab. Perlu diketahui
kebenaran ceritan inipun tidak dapat dijamin juga akan kebenerannya, sebab
banyak pendapat, ada yang menyatkan ihwal sebutan Lhee reuthoh itu ada maksud
300 keluarga pria yang sanggup untuk berperang, dan ada juga berpendapat
maksudnya itu bahwa persekutuan (konfederasi) zaman dahulu kala serta akan
terjadi pada masa kesukaran mampun perjuangan bersama.
Ja Sandang ataupun
Tok Sandang, ja atau to itu berarti
nenek moyang, adapun kedua nama tersebut ada yang menyebutnya Eumpee (dalam bahasa Melayu berarrti empu). Kata Cut itu diartikan kecil, di Aceh dipakai sebagai awalan nama pria
maupun wanita keturunan bangsawan. Sebenrnya Sandang juga berarti sesuatu di
bawah lengan yang terikat tali melingkari bahu, nama ini juga terpaku pada
seorang pria saudara lelaki dan banta dari Teuku Nek dan sekarang disebut Teuku
Sandang.
Selain itu ada juga cerita menyebutkan secara turun temurun
dikawasan Mukim XXII, yakni suku pribumi ‘Manteue’
ataupun sering juga disebut dewasa ini di daerah Lampanah. Menurut cerita
bahwasanya suatu ketika Sultan Al Kahhar berangkat ke Pidie untuk suatu dinas
pengamanan, dan ketika itu Sultan melewati Muki XXII Lampanah dan merasa
kehausan, secara tiba-tiba dia bertemu dengan orang penyandang nira (ie jok).
Lantas orang tersebut menawrkan air nira pada sultan Al Kahhar karena merasa
sangat kehausan lantas sang Sultan tak tawar menawar lagi langsung menerima dan
meminumnya dengan puas.
Pun demikian Sultan langsung berucap terima kasih serta
mengundang orang tersebut e dalam (sebutan istana Aceh) di Koet Radja sekarang
Banda Aceh yang bertujuan untuk memberikan perhargaan sebagai rasa terima kasih
sultan kepada rang tersebut. Apa yang terjadi, serta merta orang tersebut
bertanya , Bagaimana saya dapat masuk ke ‘Dalam’ dan tak dikenal oleh pengawal. Pun demikian sang Sultan al
Kahhar memberikan satu petunjuk kepada orang tersebut dengan menyandang sebuah
babmbu (pojok) nira serta sultan memberikan sehelai daun kelapa di kapalanya.
Singkat cerita acap kali Ja sandang bertandang ke Dalam (istana), maka diangkatlah
beliau oleh sultan sebagai kadi dengan gelaran Malikul ‘Adil (Malekon ‘Ade)
sebab beliau dipercaya sebagai orang baik.
Ja Batee atau Tok Batee, adapaun menurut cerita pada ketika
sultan Al Kahhar berencana membangun sebuah istana batu, maka beliau
mengeluarkan perintah agar golongan pendatang dari luar daerah juga sudi
bergotong royong untuk mencari serta membawa batu-batu untuk material
pembangunan istana. Singkat cerita kita kisahkan, pada suatu ketika golongan
ini tadi mengumpulkan batu, Sang sultan
memberikan titah bahwasanya boleh dihentikan dan sudah cukup (tok batee). Maka
sejak saat itulah golongan ini pun disebut kaum Tok Batee.
Adapun kaum terakhir yang juga dikenal dengan sebutan Imuem
Pheuet (Imam Empat), alasan dengan sebut ini karean meraka menempati empat
wilayah mukim, antara lain Tanih Abe, Lam Loot, Montasik dan Lam Nga. Tiap-tiap
mukim diketuai atau dipimpin oleh seorang kepala dan semuanya ada imam, maka sebutan ini
manjadi Imuem Pheuet.
Ya, jika memperhtikan lebih detail lagi, Imuem Pheuet ini
mengarah ke persekutuan yang berbeda jika dibandingkan dengan Lhee Sukee (Lhee
teuthoh, Ja Sandang, dan Ja Batee). Perlu juga anda ketahui sebenarnya jabatan
imum itu terpisah dari kawaom. Sedangkan imuem tugasnya sebagai pemimpin dlaam
hal ibadah dan sama sekali tidak memperoleh pangkat di dalam masyarkat.
Orang Aceh merupakan kelompok yang beriwa kosmopolitan
artunya dapat menerima siapa saja atau suku bangsa apapun. Perlu dikethui dalam
mengelompokkan etnisitas, dalam sistem kerajaan Aceh untuk menyusun
kependudukan itu juga berdasarkan negeri asal suku bangsa tersebut, pun demikan
dalam hadih maja disebutkn “Sukee lhee
reuthoh bak aneukd rang, sukee ja sandang jeura haleuba, sukee tok batee na
bacut bacut, sukee imuem pheuet nyang gok gok donya.” Kendatipun demikian
banyak orang Aceh tidak tau akan maksud hadih maja tersebut.
Imuem Mukim menjadi kepala daerah mukim, jabatan inipun
sebagai penguasa yang dibentuk pun ada hubungannya dengan agama.
Sukee juga dapat diberi arti lain suku hingga hadih maja
inipun juga menggambarkan kebergaman suku bangsa yang berdima di Aceh. Ini
semua berkat Sultan Alaidin Riayatsyah Al Kahhar (5537-1565) yang telah
berhasil menyatukan semua suku bangsa yang ada di Aceh dan juga dibawah panji
Islam dan juga teraplikasi dalam wadah kerajaan Aceh darussalam.
Dapat diumpamakan juga Sukee Lhee Reuthoh ini bak aneuek
darang, juga dapat diberi arti seperti pohon padi yang tumbuh pas ketika musim
pemotongan padi. Istilah lain dapat diartiakan Suku Tiga ratus ini juga
disebutkan pengelompokan suku lain yang ada di aceh. Dapat dketahui pembagian
suku tiga ratus ini termakstub dinataranya Batak karee, Mante, gayo, Alas, dan
Kluet. Perlu diperjelas kala itu suku Batak karee berada atau berdomisili di
Lampanah dan Lamteuba, Aceh Besar. Adapun suku pedatang dari India dan kawin
dengan penduduk asli mereka ini di kelompokkan ke dalam suku ja sandang.
Seorang penjelajah dunia asal Venetia, Italia yaitu
Marcopolo, mengaku pernah singgah dan tinggal di kerajaan Samudera Pasai konon
katanya selama lima bulan sekira tahun 1292 Masehi pada masa sultan
Malikussaleh. Di sebuah catatannya “The Travel of Marcoplo” menggambarkan, di
Pasai banyak sekali tinggai orang India, mereka telah menikah dengan penduduk
asli setempat. Sultan Al Kahhar juga mengakui adanya imigran Arab, Cina, Jawa,
Bugi, Jamee, Semenanjung Tanah Melayu, suku ini dimasukkan ke dalam suku Tok
Batee yang diartikan na bacut-bacut
(kum minoritas), mereka ke Aceh untuk mengausai perdangan dan bisnis.
Adapun para bekas pemimpin yang terusir dari negerinya
disebabkan berbeda pandangan politik di negeri asalnya, semacam polical asyum
(mencari Suaka politik) sebutan sekarang. Mereka dimasukkan dam suku imuem
pheuet, kelompok ini diartikan mampu menggoncang dunia, sebab mereka banyak
ilmu pengetahuan. Oleh sebab demikian mereka dianjurkan menikah denganpenduduk
Aceh asli supaya dapat melahirkan keturunan cerdas.
Demkianlah uraian singkat tentang asal usul Sukee Lhee
Reuthoh, moga dapat menjadi ilmu bagi generasi muda Aceh yang membacanya.
Jangan pernah lupakan sejarah dan budaya Aceh, karena sejarah adalah identitas
sebuah negeri. Lihatlah dinegeri jiran Malaysia mereka selalu ditanamkan dengan
ilmu pengetahuan dan selalu ditanam adat adan budaya supay tida luntur ditelan
zaman, inipun dapat kita lihat dari gaya gadis Melayu yang tak meninggalkan
baju kurungnya.
Referensi dari
berbagai sumber
No comments:
Write komentarTinggalkan Komentar!