Tgk Dr MuMuhamm Hasan di Tiro Proklamator Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
FOTO | WIKIPEDIA
|
BANDA ACEH | Dalakrator GAM, Tgk Muhammad Hasan di Tiro atau yang akrab disapa Tgk Hasan Tiro adalah deklarator GAM yang tercatat dengan tinta emas dalam sejarah konflik Aceh puluhan tahun lalu.
Diketahui bersama, Hasan Tiro meninggalkan kemewahan hidup dan keluarga yang dia sayangi untuk mengobarkan semangat perang.
Dia merekrut sejumlah pemuda, tokoh, dan masyarakat untuk ikut berjuang bersama dirinya di dalam hutan.
Setelah mendeklarasikan GAM di Gunung Halimon, Pidie pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro adalah orang paling diuber oleh tentara pemerintah saat itu.
Dia bergerilya, ke luar masuk hutan untuk menguatkan gerakan, merekrut orang-orang, dan melakukan strategi perlawanan terhadap Indonesia.
Hingga akhirnya, Hasan Tiro mengasingkan diri.
Hasan Tiro ke luar negeri sampai akhirnya menetap di Stockholm, Swedia bersama elite-elite pendiri GAM di masanya.
Hasan Tiro tercatat pulang ke Aceh pada 11 Oktober 2008 setelah 30 tahun berada di luar Indonesia, mengobarkan semangat ideologi GAM di sana.
Pada 3 Juni 2010, putra kelahiran Tiro, Pidie, Aceh, 25 September 1925 ini tutup usia dan dimakamkan di Meureu, Indrapuri, Aceh Besar.
Dalam sejarah perjuangannya, sosok Hasan Tiro memiliki sejumlah kolega dan menteri kabinet yang dibentuknya untuk memperjuangkan Aceh menjadi sebuah negara.
Di antara para kabinet tersebut seperti dr Teungku Mochtar Hasbi yang menjabat sebagai majelis mentroe dan juga Mendagri saat itu.
Ada juga nama dr Zubir Mahmud yang menjabat sebagai Menteri Sosial.
Kemudian Tengku Ilyas Leubee sebagai Menteri Keadilan Negara, dan juga dr Zubir Mahmud.
Lalu ada nama dr Zaini Abdullah dan juga dr Husaini Hasan sebagai Sekretaris Negara dan disebut-sebut orang paling dekat dengan Hasan Tiro.
Pada suatu ketika, menurut Dr Husaini Hasan, Hasan Tiro pernah menitipkan pesan atau amanah tentang siapa yang akan memimpin perjuangan jika dirinya meninggal dunia.
Dr Husaini Hasan yang diwawancarai Serambinews.com di Banda Aceh, Selasa (11/12/2018) mengakui adanya pesan tersebut.
“Iya. Bahwa dulu kami membuat siapa yang akan memimpin perjuangan jika wali tak ada. Hierarkinya menurut kepemimpinan, pertama ada nama dr Mukhtar Hasbi, kemudian Tgk Ilyas Leubee, lepas itu saya, sesudah giliran saya ada dr Zaini Abdullah, lalu ada nama Zubir Mahmud. Sampai itu saja,” katanya.
Sementara itu, peneliti Hasan Tiro, Haikal Afifa menyebutkan, pesan Hasan Tiro terkait kelanjutan kepemimpinan itu adalah “Dekrit Keramat” Wali Negara Aceh, Tengku Hasan di Tiro.
Dia menuliskan hal itu di halaman Facebooknya pada Rabu (12/12/2018).
Menurutnya, banyak pihak bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang akan menggantikan tugas Wali Negara Aceh Tengku Hasan Muhammad di Tiro baik saat beliau berhalangan maupun ketika beliau tiada.
“Secara resmi, kala kabinet Aceh Merdeka sudah terbentuk, Wali Neugara mengeluarkan surat keputusan penting terkait hal ini,” tulisnya.
“Surat Keputusan atau ‘Dekrit Wali Negara Aceh’ ini setau saya belum pernah dibatalkan, baik dalam rapat-rapat penting GAM maupun dalam Deklarasi Stavanger di Norwegia pada 21 Juli 2002,” katanya.
Sehingga, banyak pihak terjebak menempatkan narasi sejarah penting Aceh khususnya tugas dan fungsi yang akan menggantikan sang Wali.
Haikal menuliskan, keputusan ini dikeluarkan oleh Tengku Hasan pada Tanggal 15 Maret 1979 di Camp Bateë Iliëk II. Camp terakhir (Camp ke-41) sejak kepulangan Tengku Hasan di Tiro ke Aceh pada tahun 1976.
“Dari Camp inilah, beliau memimpin rapat dan upacara terakhir Aceh Merdeka sejak kepulangannya ke Aceh. Karena, 13 hari sesudah itu (28 Maret 1979) beliau berangkat ke luar negeri melalui perairan Batëe Iliëk,” tulis Haikal lagi.
Di camp ini juga, semua anggota staf Aceh Merdeka menerima seragam militer yang diberikan oleh beberapa orang di Keude Djeunib.
Menurut Haikal, dalam catatan Aceh Merdeka, Batée Iliëk memiliki sejarah penting.
Karena, di sana adalah tempat bersejarah perang dahsyat antara Aceh dan Belanda pada tahun 1905. Belanda kala itu di bawah kepemimpinan Van Heutz.
Haikal menjelaskan, Dalam versi asli buku The Price of Freedom: the unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro (Koleksi Leiden) terbitan 1982.
Wali Negara menulis Dekrit ini dalam Bahasa Inggris sebagai berikut:
“I signed a Decree stipulating that in my absence the State of Acheh Sumatra shall be governed by the Council of Ministes headed by a Prime Minister and with several Deputy Prime Ministers who, in case of death will replace one another in succession.
The Prime Minister is Dr. Muchtar Hasbi with Tengku Ilyas Leubè as First Deputy, Dr. Husaini Hasan the Second Deputy, Dr. Zaini Abdullah the Third Deputy, and Dr. Zubir Mahmud, the Fourth Deputy. That precedent is established by their order of seniority in the leadership of the NLF.
The Central Committee of the NLF shall act the emergency legislature to ratify the acts of the Cabinet,”.
Haikal menerjemahkan bunyi pesan Tgk Hasan Tiro sebagai berikut;
“Saya menandatangani keputusan yang menetapkan kondisi Negara Aceh Sumatra apabila saya tidak ada. Maka, Aceh Sumatra Merdeka akan diatur oleh Dewan Menteri yang dipimpin oleh Perdana Menteri bersama beberapa Wakil Perdana Menteri.
Jika mereka meninggal akan mengantikan satu sama lain secara berurutan.
Perdana Menteri adalah Dr. Muchtar Hasbi dengan Teungku Ilyas Leubée sebagai Wakil Pertama; Dr. Husaini Hasan Wakil Perdana Menteri Kedua; Dr. Zaini Abdullah Wakil Perdana Menteri Ketiga; Dr. Zubir Mahmud Wakil Perdana Menteri Keempat.
Urutan ini ditetapkan berdasarkan senioritas mereka dalam kepemimpinan NLF - National Liberation Front.
Komite Sentral Aceh Merdeka akan bertidak sebagai Legislatif darurat untuk meratifikasi setiap tindakan Kabinet,”
Menurut Haikal, “dekrit Keramat" ini mendeskripsikan urutan kepemimpinan resmi dalam perjuangan Aceh Merdeka kala gerakan ini didirikan oleh Tengku Hasan Muhammad di Tiro.
“Bahkan, dekrit ini menjelaskan kepada generasi Aceh selanjutnya siapa sebenarnya yang lebih senior dalam perjuangan ini,” tulis Haikal.
Menurutnya, itulah nama dan urutan yang disebutkan oleh Hasan Tiro dalam dekritnya.
Jika dilihat lebih jauh, saat ini hanya dua orang yang masih hidup sebagai central commite ‘Aceh Merdeka’ yakni Dr Husaini Hasan dan Dr Zaini Abdullah.
“Melihat urutan senioritas mereka, maka Dr Husaini Hasan adalah penerima resmi Dekrit Wali Negara Aceh,” katanya.
“Dengan sengaja, Tengku Hasan di Tiro mengeluarkan dekrit bersejarah ini di tempat yang penuh dengan darah dan air mata pahlawan Aceh sebagai pesan bahwa sejarah tidak boleh dan tidak bisa dikhianati oleh siapapun.
Terlepas dari apapun, sejarah adalah harga yang harus kita bayar dengan sangat mahal,” demikian Haikal dalam tulisannya.
Sumber: Serambi Indonesia dengan judul Ini Pesan Hasan Tiro Suatu Ketika, Siapa yang Akan Memimpin Jika Dirinya Tiada
No comments:
Write komentarTinggalkan Komentar!