Tuesday, April 2, 2019

Sejarah Asal Mula Berdirinya DAYAH di Aceh


Pendidika Dayah Terkesan Terabaikan, Padahal Pendidikan Dayah Merupakan Induk Pendidikan di Nusantara

DAYAH disebut juga PESANTREN dalam bahasa Indonesia. Di Aceh dipercaya sudah ada sejak tahun 800 Masehi dan Dayah tertua dinamakan Dayah Cot Kala. Dalam kehidupan rakyat Aceh Dayah merupakan induk penting dalam peranan proses pertumbuhan dan berkembanganya pendidikan Islam di Nusantara. Dayah mempunyai gaya dan ciri khas tersendiri dengan konsep tradisionalnya dan menjadikan dayah semakin survive, secara tak langsung dapat di anggap peranan dalam hegemoni modernisasi orang zaman sekarang.
Dayah Mudi Mesra Samalnga (gonwes.co)
Kalau ditelusuri sejarah awl keberadaan Dayah ini semenjak masuknya agama Islam di Aceh, katakanlah sekitar tahun 800 masehi atau abad ke – 8. Agama Islam ini dibawa langsung oleh para pedagang dan mubalig dari Arab. Sembari untuk berdagan, para mubaligh ini juga menyebarkan agama Islam. Cara mereka untuk percepat penyebaran agama Islam dengan mendirikan Dayah atau tempat belajar pendidikan agama Islam. Zawiyah atau nama dari Dayah ini diambil dari Bahasa Arab, kata istilah Zawiyah secara loghat dapat diartikan Sudut, dasar keyakinan orang Aceh pada masa itu sebab dari keyakinan istilah dari sudut Masjid Nabawi, sewaktu Nabi Muhammad SAW mengajarkan tentang Isalm kepada Sahabat. Ketika pertengahan abad, istilah Zawiyah di mengerti sebagai pusat agama dan kehidupan Sufi yang menjadi kebiasaan waktu mereka menghabiskan waktu dalam perantauan.


Dengan berjalannya waktu, maka peranan dayah pun semakin berkembang menurut zaman. Anggapan Dayah pun bukan hanya wadah pendidikan agama, namun juga dapat dikaitkan dengan hubungan sosial dan politik serta sebagai wadah untuk memelihara manuskrip dan tempat penimpanan kitab-kitab kuno agar dapat terjaga dengan baik.

Alhasil dapat mereka yang menempuh pendidikan Dayah, di Aceh kala itu ada yang dapat menjadi patokan mampu menjadi Raja, Penglima miiter, menteri, ulama, ahli dalam urusan perkapalan, kedokteran, pertanian, dan lain-lain. (Prof. DR M Hasbi Amiruddin, MA dalam makalah yang yang berjudul ‘Program Pengembangan Dayah di Aceh’).

Dalam catatan paran sejarawan di Aceh ada dayah tertua yaitu Dayah Cot Kala konon katanya sudah bediri seemenjak abad ketiga Hijriyah. Konon, dayah Cot Kala merupakan pusat pendidikan Islam tertua  dan pertama di Asia Tenggara dan tak tangguang-tanggung para pendidik di datangkan dari Arab, Persia dan India. Selain itu setelah dayah Cot Kala atas dasar generasi berikutnya ada juga dayah Kan’an yang berada di wilayah Keune’eun, kecamatan Darul Imarah, kabupaten Aceh Besar, pada abad ketujuh Hijriyah dan didirikan oleh Abdullah Kan’an, beliau merupakan tokoh penyebaran Islam dari Palesina. (menurut versi ensiklopedi agama Islam yang bernaung dalam Departemen Agama tahun 1993).

Puncak dari peranan Dayah  yang menjadi perioritas sebagai pusat Lembaga Pendidikan Islam pada masa pemerintahan Sultan Nan Agung Iskandar Muda. Dayah Manyang (setara dengan perguruan tinggi) yang betepat di Masjid Baiturrahman, Koeta Radja sekarang disebut  Banda Aceh. Perguruan Tinggi Dayah tersebut lebih kurang memiliki 44 guru besar (sekarang disebut Profesor) yang sebagian berasal dari Persia dan India. Pada masa inilah kader-kader Ulama dan para cendikiawan Muslim terbesar dan terkenal bejalar dan menimba ilmu disini. Bukan dari sumatera saja mereka datang, tetapi sebagianya juga ada dari Asia Tenggara. Perlu diketahui juga bahwa dimulai dari sini jaringan intelektual ataupun perkumpulan ualam besar seluruh dunia terbentuk dan sampai dikenal Kesultanan Aceh Darussalam dengan julukan lima negara Islam Super Power Dunia.

Selain Kesultanan Aceh Darussalam yang sangat terkenal dan menjadi pusat kekuatan Islam di Asia Tenggara, pada masa itu juga ada Kerajaan atau kesultanan seperti, Kesultanan Turki Usmaniyah yang berpusat di Istanbul, Kesultanan Islam Maghribi di Afrika Utara, Kesultanan Islam Isfaham di Timur Tengah dan Kesultanan Islam Agra di India.


Pada zaman sekarang di Aceh masih ada Zawiyah atau pun Dayah tertua yang masih berdiri kokoh, yakni Dayah Tanoh Abe di Seulimuem, Kabupaten Aceh Besar, Dayah ini lahir sekitar abad ke 17 masehi. Sama saat ini, Zawiyah Tanoh Abe masih menyimpan lebih kurang 4.000 manuskrip dan bermacam kitab kuno dengan tulisan tangan dari karangan para ulama Aceh waktu dahulu. Peranan Dayah sangat penting sekali, pada era berkecamuknya perang Belanda di  Aceh. Peranan dayah pada masa perang Belanda, bukan hanya sebagai tempat pendidikan, akan tetapi sebagai tempat untuk menyusun strategi perang melawan Belanda. Lembaga Dayah pada masa itu juga sebagai tempat pemeberi stempel atau legitmasi terhadapa mereka para Panglima dan prajurit perang, istilahnya rekomendasi surat pendaftaran sebelum terjun ke Medan Perang. Sebagian besar tokoh penting Aceh pada masa itu mereka ikut berperan dalam perang melawan Belanda.

Banyak tokoh penting Aceh yang berasal dari dayah juga ikut ambil bagian dalam peperangan melawan Belanda, katakalah Tgk. H. Syech abdul Wahab beliau menganut Tariqat Syathariah dan beliau adalah salah pejuang masa kemerdekaan. Ada juga yang lainnya dan tak lain adalah generasi kelima pimpinan Zawiyah Tanoh Abe Tgk. Chiek Tanoh Abe sebagai pesihat perang.

Akibat aturan sistem manajemane kurang baik, di Aceh sangat kurangnya genarasi semenjak abad ke 20 Masehi dayah – dayah di Aceh lebih condong mengalami penurunan jika dibandingkan dayah atau pondok pesantren yang ada di luar Aceh katakanlah di Pulau Jawa yang sekarang semakin maju dan pesantren-pesantren disana semakin berkembang dan maju.

Menurut surve, dayah – dayah di Aceh kebanyakan anggaran untuk mendirikan lebih condong dengan pemakain dana pribadi atau swasta yang notabesnya diambil dari kekayaan keluarga pendiri dayah ataupun sumbangan dana dari masyarakat. Lazim kita lihat jika sang pimpinan meninggal dunia, dayah tersebut pun juga ditinggalkan dan mengalami kemerosotan. Tak lain penyebanya adalah kekayaan aset yang dimiliki dayah akan dibagia ke sanak famili bukan juga menjadi hak penuh untuk pengembangan kegiatan dayah. Ini Cuma kasus sebagiannya  saja, sedangkan lainnya bukan demikian ceritannya. Akan tetapi sebagiannya kasus jika sang pimpinan meninggal, hak atas semua aset dayah akan dikelola oleh keturunan atau ahli waris yang mampu mengelola dan jika tak mampu dikelola akan diserahkan pada orang yang layak untuk memimpinnya.

Akan tetapi, di erah zaman sekarang sangat perlu bimbingan dan perhatian khusus agara dayah di aceh dapat berkembang, bukan mundur kebelakang. Paling tidak sitemnya dapat dirubah dengan penampakan baru yang lebih modern dengan tidak meninggalkan asupan pendidikan pokok yaitu kitab kuning. Menurut zaman pun dalam pendidikan dayah selain pejaran pokok, juga mesti ada tambahan mata pelajaran umum, katakanlah seperti  metode pelajaran aritmatika, ilmu sains, naskah latin, bahasa asing dan lain-lain. Hal ini juga sebagai cara dan peranan dayah tak ditinggalkan oleh para santri dan jika hal seperti di upayakan pasti mereka akan menanmbat minat belajar ke dayah. Hal ini pun juga penting dikala mereka berhenti atau telah menamatkan pendidikan dayah juga dapat mengarakh ke minat dan hobi setelah mereka berhubungan dalam kehdupan masyarakat. Toh, selain mereka mendalami ilmu akhirat juga akan penting tahu ilmu dunia sekedar untuk tuntutan sebagai perkembangan teknologi untuk mencari pekerjaan selain menjadi gure dan imuem meunasah.


Menurut penuturan Tu Bulqaini, yang juga jebolan teungku dayah Salafiyah ini mengatakan, adanya keberadaan dayah – dayah modern sekarang yang makin marak di Aceh itu pun tak dapat di kategorikan sebagai dayah akan tetapi lebih condong ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) plus. Tu Bulqaini sangat tidak bersependapat adanya oknum yang ingin membuat perubahan di dayah Salafiyah. “Tidak usah ada perubahan, biar saja seperti itu. Karena apapun cerita, bertahannya Islam di Aceh dikarenakan jasa yang sangat besar dari kaum dayah,” ujar Tu Bulqaini,

Walaupun zaman sudah semberaut begini, apapun ceritanya DAYAH masih tetap menjadi pilihan nomor satu sebagian besar orang Aceh, lebih lagi masyarakat yang tinggal di pedalaman kampung. Perlu diingat para orang tua di pelosok lebih memilih dayah daripada sekolah umum. “Sampai saat ini dayah salafiyah masih menjadi tempat favorit bagi orang tua untuk memilih pendidikan anak mereka dan dayah salafiyah ini murni mengajarkan ilmu agama yang lebih diminati,’’ ujar Tu Bulqaini lagi.

Referensi : BPPD Provinsi Aceh dan referensi lainnya

1 comment:
Write komentar
  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    ReplyDelete

Tinggalkan Komentar!