FOTO | ILUSTRASI |
SEPENINGGAL Sultan Alaidin Riayat Syah, kondisi politik di Kerajaan Aceh Darussalam berjalan tidak stabil. Sengketa kekuasaan untuk menduduki tahta terjadi, bahkan cenderung berakhir dengan kudeta berdarah.
Sultan pengganti Alaidin juga tidak lama berkuasa. Ada yang menjabat hanya 4 bulan, dan paling lama setahun. Mereka dilengserkan oleh pihak-pihak yang mengklaim sebagai penguasa sah--yang adalah juga berasal dari keluarga dekat.
Hal inilah yang digambarkan para sejarawan dalam catatan ilmiah mereka mengenai kondisi Kerajaan Aceh Darussalam pada masa itu. Termasuk gambaran sekilas yang dikemukakan Rusdi Sufi dkk dalam bukunya "Aceh Bumi Iskandar Muda".
Kisah kekuasaan singkat ini dimulai dari Sultan Ali Riayat Syah. Dia merupakan putra Sultan Alaidin Riayat Syah Al Kahar, yang memerintah pada tahun 1568 M. Sama seperti ayah dan kakeknya, Ali Riayat Syah memiliki misi mengusir Portugis dari Malaka.
Serangan demi serangan terhadap Portugis terus dilakukan semenjak dia memerintah. Serangan pertama dilakukan pada tahun 1573, kemudian dilanjutkan dengan serangan kedua pada Februari 1575. Namun setiap upaya mengusir Portugis dari Tanah Melayu tersebut menemui kegagalan.
Di masa Sultan ini pula datang seorang ulama dari Mekkah, Muhammad Azhari atau dikenal Syekh Nur ad-Din. Ulama ini bermazhab Syafi'i kelahiran Mesir.
FOTO : Daruddunya, ilustrasi istana masa Kesultanan Aceh Darussalam |
Kekuasaan Sultan Ali Riayat Syah berakhir tahun 1575. Tidak jelas penyebab berakhirnya kekuasaan Sultan ini. Pun demikian, Rusdi Sufi dkk menulis sosok pengganti Sultan Ali Riayat Syah adalah Sultan Muda. Sultan ini masih balita saat singgasana Kerajaan Aceh Darussalam diemban kepadanya. Usianya pada saat itu masih 4 bulan. Pemerintahan Sultan Muda sangat singkat, tiga bulan berkuasa ia mangkat.
Setelah Sultan Muda mangkat, Sultan Sri Alam mengambil peranan. Dia merupakan putra Sultan Alaidin Riayat Syah Al Kahar. Sultan Sri Alam sebelumnya menjabat sebagai Raja Pariaman, sebuah kerajaan yang ada di Sumatera Barat.
Semasa menjabat sebagai Raja Pariaman, Sultan Sri Alam bergelar Sri Alam Firman Syah. Dia menikah dengan Raja Dewi, Putri Sultan Munawar Syah dari Inderapura.
Dalam catatan sejarah disebutkan hulubalang dari Inderapura lah yang diduga berkomplot dengan Raja Dewi untuk membunuh Sultan Muda. Tindakan ini sekaligus melancarkan jalan untuk Sri Alam naik tahta pada 1576.
BACA JUGA: Ingat Sejarah: Ternyata Malaysia, Brunei, dan Indonesia Banyak Berhutang Budi ke Samduera Pasai Aceh
Di masa pemerintahannya, Sultan Sri Alam dikenal sebagai sosok raja yang kejam. Ini pula yang menyebabkan masa kekuasaannya sangat singkat. Dia dibunuh pada 1576. Pembunuhan salah satu raja Aceh ini dinukilkan turut melibatkan ulama. Pun begitu diperlukan penelitian lanjutan mengenai hal ini.
Rusdi Sufi dkk dalam buku Bumi Iskandar Muda kemudian menuliskan pengganti Sultan Sri Alam adalah Sultan Zainal Abidin. Dia merupakan cucu Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Kahar atau anak saudara laki-laki Sultan Ali Riayat Syah dan Sultan Sri Alam. Akan tetapi sifat Sultan Zainal Abidin ini juga diriwayatkan tak jauh berbeda dengan Sultan Sri Alam, sehingga ia juga dibunuh pada tahun 1577.
Namun ada perbedaan kronologis pemerintahan dalam catatan sejarah pemerintahan Sultan Zainal Abidin ini.
Dennys Lombard, salah satu sejarawan dari Inggris menyebutkan Sultan Zainal Abidin hanya memerintah tahun 1579 atau dua tahun berselang dari catatan sejarah yang dibuat Rusdi Sufi. Pun demikian, untuk membuktikan hal ini diperlukan pembuktian ulang oleh peneliti termasuk lokasi makam Sultan tersebut.
Masih berdasarkan buku "Aceh Bumi Iskandar Muda", Sultan Aceh selanjutnya yang memerintah adalah Alaiddin Mansyur Syah bin Sultan Ahmad dari Perak. Daerah ini berada di Semenanjung Melayu. Sultan dari Perak ini berkuasa pada 1577 hingga 1586.
Di masa kekuasaannya, Aceh menyerang Kerajaan Johor tepatnya tahun 1582. Namun serangan itu tidak berhasil. Pada tahun yang sama pula datang dua ulama Aceh dari Malaka. Mereka adalah Syekh Abu Al Khair bin Syekh bin Hajar dan Syekh Muhammad Yamani.
BACA JUGA: Di Zaman Kuno Sebutan Nama 'Sumatra' Hanyalah Sebuah Nama Kota di Wilayah Samudera, Aceh Utara
Selain dua ulama tersebut, datang pula dari Gujarat (India) Syekh Muhammad Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid ar-Raniri.
Di akhir kekuasaanya, Sultan Alaidin Mansyur Syah mangkat karena dibunuh hulubalangnya pada tahun 1586.
Pengganti Sultan Alaidin Mansyur Syah adalah Sultan Ali Riayat Syah atau Raja Buyung. Dia merupakan seorang pangeran dari Indrapura, Sumatera Barat. Raja Buyung adalah anak Sultan Munawar Syah. Lagi-lagi, kekuasaan sultan ini hanya bertahan selama dua tahun karena dia terbunuh dalam kudeta pada 1588.
Sumber: [Aceh History]
perebutan kekuasaan condong lebih banyak dengan kudeta
ReplyDelete