ACEH dikenal sebagai daerah istimewa dengan
otonomi khususnya, bahkan Aceh menyandang berbagai macam gelar nama yang
disematkan padanya, Misalnya Negeri daerah Pahlawan, gelar inipun cukup
beralasan disandang, karena Aceh pernah melahirkan beribu pejuang yang
mempertahankan marwah agama dan bangsanya dari tangan penjajah bangsa asing.
Sebut saja seperti Teuku Umar, Teuku Chik Ditiro, dan lain sebagainya.
Bukan saja dari lelaki, bahkan perempuan
hebat pun sudah banyak dilahirkan di Aceh, bahkan sudah menyandang sebagai
Pahlawan Nasional.
Pada masa Kesultanan Aceh ada banyak
wanita hebat semisal: Keumalahayati yang didapuk sebagai Laksamana Wanita
pertama di dunia, dan selanjutnya juga ada Sulthanah Shafiyatuddin ‘Inayatsyah
(1641-1675).
Namun, tak ketinggalan pada zaman perang
Belanda pun cukup banyak muncul para pejuang wanita di Aceh, sebut saja Cut
Nyak Dhien, Pocut Baren, Teungku Fakinah, Cut Meutia dan lain sebagainya.
Pada era Zaman modern ini bahkan cukup
banyak juga di Aceh muncul perempuan-perempuan hebat yang berkiprah di Serambi
Mekkah ini, siapa sajakah mereka? Berikut ulasannya!
Shadia Marhaban
Shadia Marhaban |
Perempuan ini lahir di Banda Aceh 20
Maret 1969. Shadia merupakan satu-satunya perempuan yang aktif berpartisipasi
dalam tim negosiasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di perundingan damai antara
Pemerintah RI-GAM pada 2005 di Helsinki, Finlandia.
Sebelumnya, Shadia bekerja sebagai
penerjemah serta menjabat sebagai koordinator Sentral Informasi Referendum Aceh
(SIRA).
Pada 1999, bersama SIRA ia mengorganisir
jutaan massa tumpah ruah ke Banda Aceh menuntut referendum.
Bersama sejumlah tokoh perempuan Aceh,
Shadia kemudian mendeklarasi lahirnya Liga Inong Aceh (LINA) pada 2006.
Bertujuan untuk menampung aspirasi politik kaum perempuan di Aceh, seperti
kelompok Inong Balee, perempuan yang ikut berjuang bersama Gerakan Aceh Merdek
(GAM).
Atas berbagai upaya dan perjuangannya
terlibat dalam proses perdamaian Aceh, lembaga Mediator Beyond Borders
International (MBBI) dan Stichting Mediators memberinya penghargaan Peacemaker
Award 2017. Penghargaan ini diserahkan dalam sebuah acara di Den Haag, Belanda,
Kamis 5 Oktober 2017.
Penghargaan untuk Shadia Marhaban juga
diberikan atas kerja dan upaya perdamaian yang ia lakukan selama ini di wilayah
konflik seperti Filipina, Colombia, Myanmar, Nepal dan Thailand.
Darwati A Gani
Darwati A Gani |
Sosok Darwati A Gani, memiliki peran
penting, baik sebagai istri, ibu dan juga warna bagi jejak sejarah di Aceh.
Perempuan hebat satu ini, merupakan istri geburnur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf
yang pernah hidup dalam kemegahan, dan juga kesusahan, dalam situasi sulit.
Sosok wanita hebat ini begitu setia
menemani suaminya baik itu masa konflik Aceh maupun pasca damai Aceh.
Darwati pernah juga terpilih sebagai
Anggota DPR Aceh dari Partai PNA, menjabat dua periode 2014 - 2019 dan 2019
hingga sekarang. Pada 2017 lalu dia pernah berhenti menjadi anggota DPRA
lantaran ingin fokus menemani suaminya Irwandi Yusuf sebagai gubernur Aceh.
Sosok perempuan hebat ini selalu exis
dimedia sosil Facebook dan selalu hadiri dalam kegiatan sosial terhadap warga
Aceh.
Bahkan baru – baru ini dia mendonasikan
seluruh gajinya di DPRA untuk membantu dokter dan paramedis yang berjuang
menyembuhkan pasien yang positif terinfeksi virus Corona. Ia juga menyumbangkan
gajinya kepada masyarakat miskin dan warga yang terganggu mata pencahariannya
akibat wabah Covid-19, terhitung mulai 1 April 2020 yang lalu.
Cut Nur Asikin
Cut Nur Asikin |
Saat Serambi Mekkah masih berkecamuk
perang, Cut Nurasyikin dikenal sebagai ‘Srikandi Aceh’ yang kerap menyuarakan
keadilan. Beberapa aksi dipimpinnya, termasuk di Jakarta, untuk menggugat
pemerintah pusat agar memberikan kesempatan kepada orang-orang Aceh menentukan
nasibnya sendiri.
Sepanjang 1999-2003, dia terus
mengumandangkan Referendum, bahkan suaranya yang lantang pada November 1999
saat aksi Sidang Umum Referendum Aceh dihalaman masjid Raya Baiturrahman Banda
Aceh mampu menarik semangat 2 juta warga Aceh yang hadir kala itu.
Selain itu dia juga sebagai Ketua
Yayasan Srikandi Aceh, aktif terlibat dalam membantu kemanusiaan bagi korban
dan pengungsi Aceh saat konflik.
Sebagai pengusaha dan pemilik Hotel
Rajawali di Banda Aceh ini selalu menyisihkan sebagian uang hasil usahanya
untuk kemanusiaan.
Pada tanggal 20 Mei 2003, dua hari
setelah Darurat Militer diberlakukan di Aceh, Cut Nur Asikin dijebloskan ke
dalam penjara karena dituding berbuat makar dan dituduh sebagai anggota GAM.
Tepat akhir Desember 2004, Cut Nur menghembuskan nafas terakhir di penjara
Wanita di Lhoknga, Aceh Jaya saat Tsunami menerjang Aceh.
Suraiya Kamaruzzaman
Suraiya Kamaruzzaman |
Aktivis perempuan Aceh ini dikenal sosok
yang vokal dan kritis mengadvokasi kepentingan kaumnya. Bahkan saat Aceh masih
dilanda konflik, Suraiya yang akrab disapa Aya menjadi ujung tombak suara
perempuan dalam menggalang upaya damai melalui dialog antara Pemerintah dan
GAM.
Perempuan kelahiran Desa Lam U Aceh
Besar 3 Juni 1968 ini, bersama rekan-rekannya kemudian mendirikan Kelompok
Kerja Transformasi Gender Aceh (1997) dan Suloh Aceh (1998) dan menggerakkan
Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan.
Pada tahun 2000 dia terpilih sebagai
Ketua Steering Committee untuk Kongres Perempuan Aceh yang mendorong proses
penyelesaikan konflik di Aceh dengan cara damai yaitu melalui dialog.
Aya, kemudian mendirikan LSM Flower
Aceh. Tujuan dibentuknya lembaga tersebut untuk memperjuangkan hak-hak wanita
Aceh dengan mengumpulkan dan mencatat data kekerasan terhadap perempuan korban
kekerasan fisik dan seksual selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di
Aceh, dan memberdayakan mereka secara ekonomi.
Pada Oktober 2012, Suraiya menerima
penghargaan N-PEACE pada acara anugerah perdamaian yang didukung oleh Badan
PBB, United Nation Development Progamme (UNDP) di Manila, Filipina. Sebagai
penghargaan karena telah membela korban kekerasan dalam (KDRT) di Aceh.
Selain itu, Suraiya juga pernah
mendapatkan Penghargaan Yap Thiam Hien tahun 2001 atas jasanya membela hak-hak
asasi manusia dan memberdayakan wanita.
Illiza Sa’aduddin Djamal
Illiza Sa’aduddin Djamal |
Illiza Sa’aduddin Djamal pernah menjadi
walikota Banda Aceh pasca meninggalnya Ir Mawardy Nurdin, pada 16 Juni 2014.
Sebelumnya menjadi wakil Walikota Banda
Aceh, mengukir sejarah baru bagi Ibu Kota Provinsi Aceh. Pasalnya, ia merupakan
perempuan pertama di Aceh sebagai pejabat kepala daerah (bupati/walikota) pada
era modern ini.
Bunda Illiza begitu panggilan akrabnya
sudah banyak makan asam garam di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK)
Banda Aceh. Sebelumnya, dia juga menjabat sebagai ketua Fraksi Partai Persatuan
dan Pembangunan (PPP) kota Banda Aceh.
Illiza memulai karirnya sebagai wakil
bendahara PPP kota Banda Aceh. Kemudian, ia dipercayakan menjadi Ketua Dewan
Pimpinan Cabang (DPC) PPP Kota Banda Aceh Periode 2006-2011. Terakhir ia
menjabat sebagai Ketua Fraksi Pembangunan DPR Kota Banda Aceh.
Pada Pemilu 2019 lalu Bunda terpilih
sebagai Anggota Dewan DPR RI dari partai PPP periode 2019 – 2024, bergabung
dalam Komisi X DPR RI yang membidangi pendidikan, olahraga, dan sejarah.
Selain wanita diatas yang telah kita
sebutkan, masih banyak lagi wanita-wanita hebat lain di aceh zaman sekarang
yang tak mungkin kami ulas semuanya dan akan kita kupas pada lain kesempatan.
(*)
No comments:
Write komentarTinggalkan Komentar!