Peunayong merupakan salah
satu pusat perdagangan di Kota Banda Aceh. Menurut catatan sejarah
Aceh, nama Peunayong berasal dari bahasa Cina yang artinya memayungi. Daerah
ini dulunya dihuni beragam etnis. Mulai dari Cina, Persia dan India. Tapi
mayoritas Cina lebih banyak, hingga saat ini berada di daerah tersebut.
Pada masa Sultan Iskandar Tsani, ibukota kerajaan dibangun Taman
Ghairah, satu taman tempat bercengkerama keluarga sultan. Di taman itu,
juga dibagun balai Cina, yang dibuat para pekerja Cina. , Barulah pada abad
ke-17, orang-orang Cina di Banda Aceh banyak berperan dalam perdagangan.
Mereka, menempati rumah yang berdekatan satu sama lainnya di salah satu ujung
kota di dekat laut dan daerah mereka itu saat ini dinamakan Kampung Cina.
Menurut catatan sejarah, para pedagang termasuk pedagang dari Cina, selain ada yang tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh, ada juga pedagang musiman. Pedagang itu datang dengan kapal layar. Kapal-kapal Cina membawa beras ke Aceh. Mereka tinggal dalam perkampungan Cina, di ujung kota dekat pelabuhan. Mereka menurunkan barangnya di pelabuhan untuk selanjutnya didistribusikan. Lokasi tempat menurunkan barang tersebut kini dikenal sebagai Peunayong.
Saat datang ke Aceh, etnis China membawa beragam komoditas unggulan mereka, seperti sutera, kertas, hingga keramik. Kedatangan mereka ke Aceh bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga akibat pergolakan di daratan China. Kala itu, China mengalami beragam masalah, seperti penyerangan dari bangsa Mongol, bencana alam dan kelaparan, hingga pembangunan tembok besar China. Kedatangan etnis China ke Aceh kembali terulang saat penjajahan Belanda. Saat itu, W.P Groeneveld, Komisaris Pemerintah Hindia Belanda, membawa sekitar 4.000 masyarakat China ke Aceh untuk dipekerjakan karena upahnya cenderung lebih murah.
Namun, sekarang ini, sedikit sekali bukti peninggalan migrasi etnis Tionghoa yang masih tersisa di Peunayong. Salah satu yang tersisa adalah deretan ruko di Jalan Ahmad Yani yang berdekatan dengan Pasar Ikan. Ruko ini masih menyisakan khas China di arsitektur bangunannya, seperti atap runcing dan jendela kayu bersisir. Sedangkan, ruko lainnya telah berubah bentuk mengikuti perkembangan zaman, sebagian lagi hancur akibat tsunami.
Menurut catatan sejarah, para pedagang termasuk pedagang dari Cina, selain ada yang tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh, ada juga pedagang musiman. Pedagang itu datang dengan kapal layar. Kapal-kapal Cina membawa beras ke Aceh. Mereka tinggal dalam perkampungan Cina, di ujung kota dekat pelabuhan. Mereka menurunkan barangnya di pelabuhan untuk selanjutnya didistribusikan. Lokasi tempat menurunkan barang tersebut kini dikenal sebagai Peunayong.
Saat datang ke Aceh, etnis China membawa beragam komoditas unggulan mereka, seperti sutera, kertas, hingga keramik. Kedatangan mereka ke Aceh bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga akibat pergolakan di daratan China. Kala itu, China mengalami beragam masalah, seperti penyerangan dari bangsa Mongol, bencana alam dan kelaparan, hingga pembangunan tembok besar China. Kedatangan etnis China ke Aceh kembali terulang saat penjajahan Belanda. Saat itu, W.P Groeneveld, Komisaris Pemerintah Hindia Belanda, membawa sekitar 4.000 masyarakat China ke Aceh untuk dipekerjakan karena upahnya cenderung lebih murah.
Namun, sekarang ini, sedikit sekali bukti peninggalan migrasi etnis Tionghoa yang masih tersisa di Peunayong. Salah satu yang tersisa adalah deretan ruko di Jalan Ahmad Yani yang berdekatan dengan Pasar Ikan. Ruko ini masih menyisakan khas China di arsitektur bangunannya, seperti atap runcing dan jendela kayu bersisir. Sedangkan, ruko lainnya telah berubah bentuk mengikuti perkembangan zaman, sebagian lagi hancur akibat tsunami.
Walau minim peninggalan tersisa, kehidupan etnis Tionghoa sangat
terasa di Peunayong. Adalah Gang Mabok, begitu orang-orang menyebutnya untuk
lorong sempit di belakang Pasar Sayur. Gang sempit ini adalah pusat interaksi
warga Tionghoa di Banda Aceh. Di sini, berderet puluhan ruko dan warung kopi
yang menjadi ajang kumpul warga China dari beragam kelas sosial.
Peunayong adalah perbedaan nyata di Banda Aceh. Namun, perbedaan
ini bukanlah ancaman bagi kehidupan di negeri syariat ini. Hingga saat ini,
tidak ada konflik atau ancaman yang pernah terjadi antara warga lokal dan warga
keturunan. Semuanya hidup berdampingan dan saling menghargai.
Sumber:
Permisi Ya Admin Numpang Promo | www.fanspoker.com | Agen Poker Online Di Indonesia |Player vs Player NO ROBOT!!! |
ReplyDeleteKesempatan Menang Lebih Besar,
|| WA : +855964283802 || LINE : +855964283802