Thursday, June 13, 2019

14 Tahun Perdamaian RI-GAM, Akhirnya Fraksi PA DPRK Pidie Dukung Wacana Referendum Aceh


Fraksi PA DPRK Pidie menggelar jumpa pers denga wartawan di Gedung DPRK Pidie, Kamis (13/6/2019). 
FOTO | SERAMBINEWS.COM - MUHAMMUH NAZAR

SIGLI | Fraksi Partai Aceh (PA) DPRK Pidie menyatakan mendukung wacana referendum di Aceh, yang pernah disuarakan Ketua DPA Komite Peralihan Aceh (KPA) H Muzakkir Manaf atau Muallem.

Pernyataan tersebut disampaikan Fraksi PA dalam jumpa pers dengan awak media di Gedung DPRK Pidie, Kamis (13/6/2019).

"Kami dukung wacana referendum, sebab kami pandang perlu menyampaikan pendapat di muka umum yang dijamin konstitusi. Pernyataan tersebut kami nilai sebagai otokritik terhadap perdamaian Aceh yang telah berjalan 14 tahun," kata Ketua Fraksi Partai Aceh, Jailani HM Yacob, kepada Serambinews.com, Kamis (13/6/2019).

Jailani didampingi Ketua DPRK Pidie, Muhammad Ar SPdI dan Wakil Ketua, Usman M Yusuf, menjelaskan, tranformasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dari gerakan bersenjata ke gerakan politik merupakan kesepakatan yang telah ditandatangani di dalam MoU Halsinki pada tanggal 15 Agustus 2015.

MoU tersebut difasilitasi Crisis Management Initiative (CMI) yang kini telah dituangkan ke dalam undang-undang tahun 2006 dengan nama UUPA. Di mana UUPA tersebut lahir sepenuhnya dilakukan GAM.

Tak hanya itu, kata Jailani, dibuatnya Aceh Monitoring Mission (AMM), berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah RI dengan GAM. Saat itu AMM menjalankan tugas mulai tanggal 15 September 2005. " Perlu dicatat AMM merupakan misi Uni Eropa yang pertama di Asia. Dan, bentuk kerjasama itu pertama dengan negara-negara ASEAN," jelasnya.


Bahkan, lanjutnya, di dalam AMM terdapat lima negara ASEAN. Yakni, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Sementara Swiss dan Norwegia merupakan negara Uni Eropa juga masuk di dalam AMM.

Ia menambahkan, dalam menjalankan tugas, AMM telah melucuti 840 pucuk senjata yang diserahkan GAM. Penyerahan senjata itu sebagai komitmen GAM terhadap nota kesepahaman damai. Pelucutan senjata GAM digelar pada upacara pemotongan senjata yang terakhir dilaksanakan di Banda Aceh pada tanggal 21 Desember 2005.

Namun, kata Jailani, hingga 14 tahun lahirnya perdamaian Aceh, ternyata tidak terealisasi political will dari Pemerintah RI untuk memenuhi poin-poin MoU Helsinki yang telah diturunkan dalam UUPA.
Artinya pemerintah masih setengah hati mewujudkan poin-poin MoU Helsinki tersebut. 

Sehingga timbul wacana referendum.

Ia menegaskan, Fraksi PA mengancam pernyataan elite di Jakarta yang memframing, bahwa pernyataan Muallem dapat dikenakan sanksi hukum untuk dipidanakan.

" Perlu digaris bawahi elite Jakarta harus membaca aturan perundang-undangan secata utuh. Artinya aturan itu jangan dibaca sepenggal-sepenggal sesuai kepentingan politik praktis mereka saja dengan mengabaikan kekhususan Aceh," ujarnya.

Menurut Jailani, di dalam MoU Helsinki pada poin 2 dan 1, disebutkan bahwa Pemerintah RI akan mematuhi kovenan Internasional PBB, mengenai hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Kovenan internasional PBB, sebutnya, ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 2200A (XXI) tanggal 16 Desember 1966, yang mengakui eksistensi tiap-tiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri.

" Pemerintah RI malu pada dunia internasional yang sejak awal memfasilitasi antara GAM dengan Pemerintah RI, yang mereka memonitoring implementasi perdamaian. 

Pemerintah RI justru tidak menunjukan itikad baik dengan menjalankan seluruh kesepakatan dan melihat Aceh dengan stigma negatif," pungkasnya. 


Sumber Artikel Tribunnews.com

No comments:
Write komentar

Tinggalkan Komentar!